Pemerintah Aceh, Jangan Ekspor Nilam 100 Persen!
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Foto: Istimewa
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akhir-akhir ini tanaman nilam di Aceh dikabarkan sedang mengalami masa panen. Kabar ini membawa berita segar sekaligus pemetaan untuk perbaikan ekonomi Aceh ke depan. Apalagi mengingat data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menegaskan bahwa Provinsi Aceh masih menjadi daerah termiskin se-Sumatra.
Kepala Atsiri Research Center Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi (ARC-PUIPT) Nilam Aceh Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Dr Syaifullah Muhammad meminta pemerintah untuk membantu petani nilam dan melakukan pembinaan agar produktivitasnya terus bergerak dan kualitasnya tetap terjaga.
Ia juga berharap agar dinas-dinas terkait di lingkungan Pemerintah Aceh turut membina petani nilam, mengontrol proses panen, hingga ke tingkat penyulingan yang sesuai dengan standar yang diperlukan.
Lalu, kata dia, Pemerintah Aceh juga harus terus mengarahkan koperasi untuk membeli dari masyarakat. karena, koperasi punya saluran tersendiri untuk menjual kepada para eksportir. Ia juga menegaskan, pihak ARC-PUIPT Nilam Aceh USK Banda Aceh juga siap membantu bila diperlukan.
Foto: Dialeksis
“Kalau nanti diperlukan bantuan dari ARC, ARC bersedia untuk menghubungkan masyarakat, baik petani, koperasi dengan buyer-buyer di luar negeri. Kita juga bersedia menghubungkannya,” ucap Dr Syaifullah kepada Dialeksis.com, Banda Aceh, Sabtu (5/2/2022).
Sekedar informasi, ARC juga punya koperasi tersendiri. Koperasi yang ada di ARC selama ini selalu membeli dari masyarakat. Bedanya, produk nilam yang dibeli oleh koperasi ARC tidak dijual ke pihak ketiga atau diekspor ke luar daerah, melainkan diproses untuk dijadikan produk-produk turunan di Aceh.
Bicara soal harga nilam di Aceh, Dr Syaifullah mengaku tak tahu dengan pasti ring harga saat ini dan mengatakan perlu mengecek langsung ke koperasi. Tetapi ia berpendapat jika harganya sekarang sekitar Rp600-650 per kilogram.
Tantangan Industri Nilam di Aceh
Menurut Dr Syaifullah, hal yang menjadi tantangan industri nilam di Aceh ialah masih terbatasnya kualitas penyulingan. Hal ini, kata dia, perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah untuk membantu para petani nilam.
Ia mencontohkan, semisal di beberapa tempat eksportir dan ARC yang menampung nilam dari masyarakat sudah bisa melakukan proses lanjutan untuk memenuhi standar tersebut, seperti menghilangkan kandungan air dan menyerap kotoran dari minyak nilam.
Namun, kata dia, terkadang minyak nilam yang disuling di masyarakat, kualitas produknya masih terkendala pada dua hal tersebut. Masih mengandung air dan mengendap kotoran besi.
“Bila kualitasnya kurang bagus, nanti harga yang diperolehnya menjadi kurang bagus juga,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, jelas dia, supaya hasil penyulingan bagus, masyarakat perlu ada ketel yang stainless steel. Di sinilah peran pemerintah untuk membantu masyarakat agar menyediakan ketel-ketel yang stailess steel.
Ia menyebutkan, ketel yang sekarang ini ada di masyarakat hampir 90 persen adalah ketel-ketel dari drum bekas. Penyulingan dengan drum bekas inilah yang kemudian membuat minyaknya menjadi kurang bagus karena kandungan besinya relatif lebih tinggi.
Foto: Dialeksis
Nilam Jangan Diekspor Semua!
Kemudian, lanjut Kepala ARC-PUIPT Nilam Aceh USK Banda Aceh itu, hal terpenting yang harus menjadi agenda serius Pemerintah Aceh terhadap industri nilam di Aceh ialah jangan mengekspor 100 persen nilam ke luar daerah.
Paling tidak, kata dia, harus ada minimal 20 persen minyak nilam di Aceh untuk diproses di daerah untuk menjadi produk-produk turunan.
Dengan begitu, tegas dia, Aceh bisa mendapatkan nilai tambah karena minyak nilam bisa diproses menjadi parfum, sabun, hand sanitizer, body lotion dan produk-produk lainnya.
“Kalau dulu, semua minyak nilam kita diekspor ke luar. Tapi sekarang kita berharap ada sebahagian sekitar 20 persen paling tidak untuk bisa diproses di daerah kita,” pintanya.
“Bila minyak nilam diproses lanjutan di Aceh, maka akan berdampak signifikan bagi nilai tambah dari komoditas nilam tersebut,” tambahnya.
Selain nilai tambah, kata dia, adanya minyak nilam di Aceh juga mampu membuka lapangan kerja untuk anak-anak muda Aceh dalam mengembangkan minyak nilam menjadi produk turunan.
Oleh karena itu, Dr Syaifullah sangat berharap agar Pemerintah Aceh terkait dengan nilam di Aceh dapat menyentuh dari hulu sampai ke hilir.
Dari Dinas Pertanian harus menyentuh mulai dari pembibitan hingga dengan panen. Dinas Perindustrian harus menyentuh proses penyulingan. Dinas Perdagangan juga harus membantu proses perdagangannya, baik lokal, nasional maupun internasional.
Kemudian, Dinas koperasi dan UKM juga harus membantu anak-anak muda untuk mengembangkan UKM-UKM berbasis minyak nilam sehingga mereka yang muda punya usaha, punya start-up bisnis, yang ke semua itu bisa berdampak pada income generating (pendapatan) dan pembukaan lapangan kerja di daerah.
“Hal ini secara signifikan akan berkontribusi bagi peningkatan ekonomi Aceh, ekonomi daerah,” pungkasnya.