Pemugaran Rumoh Geudong Jadi Polemik, Wakil Menteri Dikritik Tak Pahami Sensitivitas Korban Konflik
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Direktur Koalisi NGO HAM, Khairil Arista. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Proses pemugaran Rumoh Geudong, bangunan bersejarah yang menjadi saksi bisu pelanggaran HAM berat selama konflik di Aceh, menjadi sorotan tajam.
Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Mugiyanto, mengklaim bahwa pihaknya tidak menghilangkan aspek-aspek penting dalam pemugaran yang kini diubah menjadi Memorial Living Park. Namun, pernyataan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk aktivis HAM dan keluarga korban.
"Jelas-jelas itu bukti sejarah, kok malah dihancurkan? Penghancuran rumah bersejarah itu adalah bagian dari penghilangan bukti sejarah. Saya gagal paham dengan Wakil Menteri ini, mengapa beliau tidak memahami konstruksi objek yang sudah dihancurkan itu adalah rumah, bukan sekadar bangunan, tetapi simbol perjuangan dan duka mendalam bagi korban," ujar Direktur Koalisi NGO HAM, Khairil Arista kepada Dialeksis.com, Selasa (14/1/2025).
Ia juga menyoroti latar belakang Mugiyanto sebagai mantan aktivis HAM, yang seharusnya lebih sensitif terhadap kebutuhan dan perasaan korban konflik.
"Sikapnya ini justru menunjukkan ketidakkeberpihakan penuh kepada korban konflik di Aceh tanpa mempertimbangkan dampak psikologis bagi keluarga korban. Keputusan seperti ini mengaburkan sejarah, padahal seharusnya memorial seperti ini dijaga dengan bentuk aslinya untuk mendidik generasi mendatang," tegasnya.
Khairil lanjut menjelaskan banyak pihak menilai bahwa penghancuran Rumoh Geudong sebagai bentuk rekonstruksi adalah langkah yang tergesa-gesa dan tidak melibatkan pendekatan berbasis korban (victim-centered approach).
“Bangunan tersebut tidak hanya menjadi bukti sejarah fisik, tetapi juga simbol bagi perjuangan keadilan,” ungkapnya.
"Sejarah tidak bisa hanya dikenang melalui taman atau monumen yang dibuat ulang. Nilai autentik dari sebuah tempat yang menjadi saksi peristiwa kelam tidak bisa digantikan. Dengan menghancurkan Rumoh Geudong, kita kehilangan bukti konkret untuk generasi mendatang memahami tragedi yang pernah terjadi," tambahnya.
Ia menyarankan agar pemerintah lebih bijak dalam menangani situs-situs sejarah yang sensitif.
"Bukannya memperbaiki luka, langkah ini justru menambah rasa kecewa. Pemerintah harus mengedepankan dialog dengan korban dan keluarganya, serta melibatkan mereka dalam setiap keputusan terkait warisan sejarah konflik," katanya.
Lebih mendalami menjelaskan, Khairil mengatakan rumoh Geudong adalah salah satu dari sekian banyak tempat yang menjadi simbol penderitaan di Aceh selama masa konflik. Sebagai bagian dari upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat, pengelolaan situs ini memerlukan pendekatan yang holistik dan sensitif.
“Langkah pemugaran yang dianggap mengabaikan aspek sejarah dan nilai korban dapat menjadi preseden buruk bagi penanganan situs-situs serupa di masa depan,” pungkasnya. [ar]