Jum`at, 12 Desember 2025
Beranda / Berita / Aceh / Pemulihan Aceh Tamiang Terhambat, Warga Kesulitan Listrik dan Air Bersih

Pemulihan Aceh Tamiang Terhambat, Warga Kesulitan Listrik dan Air Bersih

Jum`at, 12 Desember 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Syukurdi M, warga Aceh Tamiang yang mengikuti langsung kondisi lapangan dan membantu relawan di beberapa titik terdampak. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Aceh Tamiang - Dua pekan pascabanjir besar yang melanda Aceh Tamiang pada 26 November 2025, kondisi di sejumlah wilayah masih jauh dari kata pulih. Hal ini disampaikan oleh Syukurdi M, warga Aceh Tamiang kepada Dialeksis yang mengikuti langsung kondisi lapangan dan membantu relawan di beberapa titik terdampak.

Menurutnya, hingga hari ini situasi Aceh Tamiang masih memprihatinkan. Empat kebutuhan dasar yang sangat mendesak harus segera ditangani pemerintah bila ingin mempercepat pemulihan, yaitu ketersediaan listrik, air bersih, kebersihan lingkungan, serta akses menuju wilayah terisolir.

Syukurdi menyebutkan bahwa meski akses menuju Aceh Tamiang dari arah Medan sudah kembali terbuka dan memberi harapan baru, kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan. 

“Sudah dua pekan, Aceh Tamiang masih gelap gulita. Listrik belum menyala kecuali beberapa titik seperti depan Mapolres,” ujarnya.

Ketiadaan listrik membuat aktivitas warga lumpuh, mulai dari penerangan, kebutuhan rumah tangga, hingga usaha kecil yang sulit beroperasi.

Kondisi air bersih juga belum pulih. Distribusi air PDAM belum menjangkau rumah-rumah warga. Yang tersedia hanya suplai air bersih menggunakan mobil tangki ke masjid dan lokasi-lokasi pengungsian, itupun dalam jumlah terbatas.

“Ketiadaan air bersih membuat kami sulit membersihkan rumah. Lumpur semakin hari mengeras, sangat sulit dibersihkan,” kata Syukurdi.

Sejumlah warga masih bertahan di pengungsian atau mendirikan tenda darurat di depan rumah mereka. Bagi yang rumahnya rusak berat, tenda-tenda berdiri di atas sisa bangunan yang ambruk.

Minimnya air bersih turut mengakibatkan gangguan kesehatan. Warga mulai diserang penyakit kulit seperti gatal-gatal, serta batuk dan gangguan pernapasan akibat debu dari tanah lumpur yang mengering.

“Kalau tidak segera diatasi, kondisi ini bisa semakin parah. Anak-anak dan lansia paling rentan,” ujar Syukurdi.

Karena banyak warga masih bertahan di pengungsian dan tenda darurat, kebutuhan tenda hunian sementara, matras, dan alas tidur menjadi prioritas.

“Tanpa hunian sementara yang layak, para lansia, ibu hamil, bayi, dan anak-anak akan paling menderita,” ungkapnya.

Syukurdi mengungkapkan kondisi lingkungan pemukiman, pasar, sekolah, hingga masjid masih penuh lumpur dan sangat kotor. Sejumlah kendaraan rusak, batang kayu, serta puing bangunan memang sudah disingkirkan dari badan jalan, namun kini jalan berubah menjadi jalur berdebu. Ketika kendaraan melintas, jarak pandang terganggu oleh tebalnya debu.

Beberapa titik jalan juga amblas dan berlubang besar. Sementara jalan-jalan pedesaan masih sulit dilalui karena terhalang sampah, tanah, dan lumpur.

“Kami butuh alat berat, peralatan kebersihan, serta relawan. Kalau lingkungan bersih dan akses terbuka, warga bisa mulai kembali ke rumah dan memulai hidup baru,” jelasnya.

Sejumlah desa di Kecamatan Sekrak, Tenggulun, dan Tamiang Hulu masih terisolir. Jembatan putus dan jalan rusak parah menyulitkan distribusi logistik serta pelayanan kesehatan.

Keterbatasan transportasi seperti sampan/perahu mesin, kendaraan double gardan, maupun motor trail turut menghambat upaya pembukaan akses.

“Alat transportasi sesuai medan sangat dibutuhkan. Tanpa itu, wilayah terisolir sulit dijangkau,” tegas Syukurdi.

Syukurdi menekankan bahwa percepatan perbaikan sarana listrik dan air bersih adalah kunci utama mempercepat normalisasi kehidupan warga.

“Tanpa listrik dan air bersih, masa tanggap darurat akan semakin panjang,” tutupnya. [arn]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI