Senin, 07 Juli 2025
Beranda / Berita / Aceh / Penambahan Pasukan TNI di Aceh Dikritik Mahasiswa, Dinilai Langgar Perjanjian Helsinki

Penambahan Pasukan TNI di Aceh Dikritik Mahasiswa, Dinilai Langgar Perjanjian Helsinki

Senin, 07 Juli 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Fauzul Kabir, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Rencana pemerintah pusat untuk menambah empat batalyon baru di wilayah Aceh menuai penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat, termasuk kalangan mahasiswa.

Fauzul Kabir, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, menilai kebijakan tersebut berpotensi merusak semangat perdamaian dan melanggar kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam perjanjian MoU Helsinki.

“Penambahan 4 batalyon bukan solusi untuk masalah Aceh. Situasi keamanan di Aceh hari ini relatif stabil, sehingga keberadaan tambahan pasukan militer justru rentan memicu ketegangan baru di tengah proses rekonsiliasi dan pembangunan pascakonflik,” ujar Fauzul Kabir kepada media dialeksis.com, Senin (7/7/2025).

Menurut Fauzul, masyarakat Aceh telah lama berjuang untuk membangun kembali kepercayaan, baik kepada pemerintah pusat maupun antar sesama warga, setelah bertahun-tahun dilanda konflik bersenjata.

Karena itu, penambahan pasukan dinilai dapat membuka luka lama dan menciptakan rasa tidak aman di kalangan masyarakat.

“Yang dibutuhkan rakyat Aceh adalah pembangunan yang menyentuh kebutuhan dasar, seperti akses pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang memadai, serta kesempatan kerja yang layak. Bukan tambahan kekuatan militer yang justru bisa membangkitkan trauma masa lalu,” tegasnya.

Fauzul juga mengingatkan bahwa butir 4.7. dalam Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki sudah menegaskan pembatasan jumlah tentara organik yang bertugas di Aceh setelah relokasi maksimal sebanyak 14.700 personel.

Dengan adanya rencana penambahan batalyon di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil, Fauzul menilai hal ini berpotensi menyalahi kesepakatan yang sudah menjadi landasan utama perdamaian Aceh.

“MoU Helsinki bukan sekadar dokumen, tetapi komitmen bersama yang telah mengakhiri konflik panjang dan berdarah di Aceh. Kalau pemerintah pusat mengabaikan kesepakatan ini, artinya mereka mempertaruhkan stabilitas dan kepercayaan masyarakat Aceh yang telah susah payah dibangun,” ungkapnya lagi.

Fauzul mendesak pemerintah untuk menghentikan rencana pembentukan batalyon baru, dan alih-alih memperbesar kekuatan militer, justru memprioritaskan pembangunan ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pemberdayaan generasi muda Aceh agar mereka tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan pengangguran.

“Prinsip otonomi khusus juga memberikan ruang bagi Aceh untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk keamanan lokal yang semestinya berbasis pada kebutuhan masyarakat, bukan ketakutan yang berlebihan,” tutup Fauzul. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI