Penerapan Nilai Zona Tanah di Aceh Tengah Tidak Memiliki Kepastian Hukum
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
DIALEKSIS.COM| Takengon- Aktivis Anti Korupsi Aceh, Maharadi menilai penetapan Zona Nilai Tanah (ZNT) dalam Penentuan Nilai pajak bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang ditetapkan Pemda Aceh Tengah tidak memiliki kepastian hukum.
BPHTB yang ditetapkan Pemda Aceh Tengah seperti di Kecamatan Kebayakan, Bebesen, Lut Tawar, Bies, Pegasing dan Bintang, mengacu pada Keputusan Bupati Aceh Tengah Nomor: 590/331/DPKAT/2023 tanggal 5 Juni 2023 regulasinya lemah.
Menurut Maharadi, aktivis anti korupsi, SK Bupati Aceh Tengah bukan hanya regulasinya, namun adanya kesenjangan dalam penerapan zona nilai tanah. Penarapan nilai tanah di Aceh Tengah dasar hukum tidak kuat.
"Hanya dengan mengacu pada Surat Keputusan Bupati sebagai instrumen regulasi, proses pemungutan pajak BPHTB menjadi tidak memiliki kepastian hukum dan legalitas yang cukup," sebut Maharadi dalam keteranganya kepada Dialeksis.com, Rabu (13/09/2023).
Menurutnya, BPHTB seharusnya punya dasar hukum yang lebih kuat. Instrumen hukum ini hanya hanya sebatas Surat Keputusan Bupati. Seharusnya secara regulasi minimal Peraturan Bupati atau bahkan menjadi Peraturan Daerah/ Qanun Kabupaten, jelasnya.
Disebutkan Maharadi, pemberlakuan SK Bupati juga terjadi kesenjangan dan berlaku tidak adil. Karena, hanya diterapkan di beberapa kecamatan Wilayah Kabupaten Aceh Tengah, diantaranya Kebayakan, Bebesen, Lut Tawar, Bies, Pegasing dan Bintang, sementara masih 9 Kecamatan yang belum ada ketentuanya.
“Sejak ditandangani pada bulan Juni 2023 SK Bupati tersebut juga masih belum tersosialisasikan dengan baik di tingkat Kecamatan maupun desa,” jelasnya.
Regulasi yang ada tidak cukup jelas dan kuat untuk mengatur zona-zona nilai tanah dengan baik. Akibatnya, banyak lahan yang diberi nilai yang tidak realistis atau tidak sesuai dengan potensi sebenarnya,” sebut Maharadi.
Hal ini, katanya, telah memunculkan kesenjangan yang signifikan dalam nilainya antara zona-zona yang berdekatan.
Masalah lainnya, kata dia, adalah dalam penerapan ZNT di Kabupaten Aceh Tengah. Meskipun regulasi yang ada seharusnya menjadi panduan bagi pemerintah daerah dalam menentukan nilai tanah, implementasinya masih belum konsisten.
“Terdapat kasus-kasus dimana pemerintah daerah memberikan penilaian tanah yang berbeda untuk lahan yang sebenarnya memiliki potensi yang sama. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan kebingungan diantara pemilik lahan dan pengembang yang ingin berinvestasi di wilayah ini,” jelasnya.
Disebutkan Maharadi, dalam beberapa kasus, terdapat praktik-praktik korupsi dan nepotisme dalam penentuan nilai tanah.
“Prakti ini tidak hanya merugikan pemilik lahan yang nilainya ditentukan secara tidak adil, tetapi juga menghambat perkembangan pembangunan yang seharusnya dihasilkan dari penggunaan tanah yang optimal,” sebutnya.
Untuk mengatasi masalah ini, menurut Maharadi, pemerintah daerah Kabupaten Aceh Tengah harus mengambil tindakan yang tegas dalam memperkuat regulasi terkait ZNT.
“Regulasi harus jelas, kuat, dan dapat memberikan panduan yang konsisten dalam menentukan nilai tanah di wilayah ini. Selain itu, pengawasan dan kontrol yang ketat harus diterapkan untuk mencegah praktik korupsi dan nepotisme dalam penentuan nilai tanah,” pintanya.
“Secara regulasi BPHTB diatur dalam UU Nomor Nomor 28 tahun 2009, maka Kabupaten harus Mempersiapkan instrumen yuridis untuk melaksanakan pemungutan BPHTB sebagai pajak daerah,” kata Maharadi.