DIALEKSIS.COM | Aceh - Pengamat Kebijakan Publik, Dr. Nasrul Zaman, ST., M.Kes, menilai kondisi antrean panjang yang terjadi di seluruh SPBU di Banda Aceh dalam beberapa hari terakhir tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Menurutnya, situasi ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial apabila tidak ada langkah cepat dari pihak terkait.
“Keadaan antrean panjang di semua SPBU Banda Aceh saat ini tidak bisa dibiarkan. Jika terus berlangsung, emosi sosial masyarakat bisa meningkat dan memicu kerusuhan, bahkan tindakan pembakaran,” ujar Dr. Nasrul Zaman kepada Dialeksis saat dihubungi, Rabu (3/12/2025).
Ia menilai, akar persoalan bukan semata pada tingginya permintaan, tetapi juga keterbatasan saluran distribusi BBM yang selama ini hanya bergantung pada SPBU. Dalam situasi darurat dan lonjakan kebutuhan, menurutnya, pemerintah dan korporasi energi harus berani membuka opsi distribusi alternatif.
“Karena itu, harus ada kebijakan dari Hiswana Migas Aceh dan Pertamina untuk segera mendistribusikan Pertalite dan Pertamax ke seluruh pengecer (Pertamini) milik masyarakat yang selama ini berjualan di sepanjang jalan raya,” ujarnya.
Menurut Dr. Nasrul, pengecer yang selama ini beroperasi secara legal maupun semi-legal bisa menjadi solusi sementara untuk memecah penumpukan kendaraan di SPBU. Mekanisme ini, katanya, pernah berjalan di beberapa daerah saat terjadi kelangkaan, dan terbukti mampu menstabilkan situasi dalam waktu cepat.
“Ini bukan soal menormalkan kembali praktik pengecer, tetapi soal menjaga ketertiban publik. Jika distribusi ke pengecer dilakukan secara resmi, terkontrol, dan sementara, maka rantai pasok menjadi lebih luas dan tekanan di SPBU bisa berkurang signifikan,” kata dosen dan peneliti kebijakan publik itu.
Ia juga meminta Pemerintah Aceh tidak tinggal diam, mengingat dampak antrean sudah meluas ke berbagai sektor, termasuk transportasi, aktivitas ekonomi, hingga layanan publik.
“Pemerintah Aceh harus memanggil Pertamina dan Hiswana Migas untuk rapat darurat. Jangan tunggu persoalan meluas. Ketersediaan BBM itu urusan fundamental. Jika masyarakat mulai panik dan marah, situasinya bisa tak terkendali,” tegasnya.
Dr. Nasrul menambahkan, penanganan krisis energi skala daerah membutuhkan kepemimpinan yang responsif serta kemampuan melihat risiko sosial yang mungkin muncul. Dalam konteks Banda Aceh, menurutnya, pemerintah harus berdiri di garis depan untuk memastikan distribusi berjalan lancar, transparan, dan menjangkau semua lapisan.
“Kita butuh langkah cepat, terukur, dan berani. Jangan sampai antrean BBM berubah menjadi ledakan sosial,” pungkasnya. [arn]