Penyelesaian Pelanggaran HAM Mandek Bercampur Konflik Kepentingan
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pemerintah Indonesia dinilai masih punya segudang pekerjaan rumah perihal penegakkan hukum pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, khususnya sepanjang 25 tahun reformasi, sejak 1998. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menjanjikan bakal memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
Namun penegakkan hukum pelanggaran HAM berat dirasa jalan di tempat, bahkan bercampur dengan konflik kepentingan. Aktivis korban penculikan 1998, Rahardjo Waluyo Jati, mengungkap penyebab hal itu lantaran adanya tarik ulur kepentingan.
“Jadi tarik ulur, kalau dianggap enggak menguntungkan dia ya tarik lagi. Kalau dianggap menguntungkan, dia akan terus, Jadi enggak dilihat sebagai persoalan bangsa, tapi persoalan politik saja. Itu masalahanya,” ujar Rahardjo, Sabtu (20/5/2023).
Rahardjo memberikan gambaran, dia mengaku pernah memberikan dukungan politik kepada Jokowi pada Pilpres 2014 untuk jadi presiden. Pertimbangannya saat itu, kata dia, Jokowi merupakan orang baru yang diharapkan tidak memiliki konflik kepentingan sehingga bisa menyelesaikan pemasalahan di masa lalu.
“Seiring berjalannya waktu, saya lihat, dukungan yang saya berikan untuk mendukung dia menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat ternyata tidak deliver semua, tapi di luar concern dia sama sekali, di luar concern politik dia. Dari situ saya mengambil kesimpulan Jokowi ini tidak bisa mengambil misi saya sebagai warga negara yang menginginkan ada perubahan politik ke depan, ada pembeda. Ternyata dia bukan pembeda. Secara politik maupun kebijakan keseluruah. Nah artinya tidak jadi faktor pembeda, maka dia menjalankan bisnis as usual sebagai penguasa, akhirnya saya merasa misi ini enggak akan bisa sampai,” papar dia.
Sehingga pada Pilpres 2019, Rahardjo memilih untuk golput. Dia pun enggan mengikuti para rekannya yang memberikan dukungan dengan tuntutan jangan memilih presiden pelanggar HAM.
“Saaya enggak setuju, saya enggak ikut konferensi pers saat itu. Karena telunjuk kita tidak menunjuk ke Prabowo untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, tapi telunjuk kita harus menunjuk ke Jokowi sebagai otoritas tertinggi yang bisa menyelesaikan persoalan HAM. Gitu kan logikannya. Makanya saya enggak mau mendukung, kecuali dia selesaikan itu,” jelas Rahardjo.
Menurut dia, penyelesaian pelanggaran HAM berat harus dituntaskan sebelum tahun politik. Namun, dia menilai hal itu tidak dilakukan Jokowi.
“Jadi kalau sikap saya terhadap apa yang ada sekarang ini ditawarkan pemerintah, saya rasa itu hasilnya tidak akan jauh berbeda sepanjang sembilan tahun ke belakang di masa pemerintahan Jokowi. Pertama, mengapa dia muncul di tahun politik, seharusnya bukan di tahun politik,” ujar dia.
Rahardjo punya alasan soal itu. Menurut dia, pihaknya punya waktu untuk merespon tawaran yang diberikan pemerintah serta menguji komitmen tersebut bila dilakukan sebelum tahun politik.
“Sementara tahun politik itu kan di ujung. Kita enggak mengerti dan kita tahu betul bahwa yang diharapkan hanya dukungan politik. Kita enggak bisa menguji apakah bisa jalan atau tidak,” ungkap Rahardjo.
Dia menekankan perlu ada legitimasi politik yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM berat. Karena, kata dia, permasalahan ini bukan cuma melibatkan pemerintah tapi juga masyarakat.
“Dia enggak bisa gerak sendiri pemerintah, apalagi kita sudah tahu yang oposisi terhadap Jokowi juga besar. Sehingga jika itu dilakuukan dipaksakan, maka bahwa boleh jadi yang ditawarkan Jokowi ini bener akan tetapi mendapatkan penolakan dari masyarakat politik yang lain. Jadi dia harus muncul dari satu, entah lembaga atau apapun tapi dia harus merepresentasikan secara legitimasi unsur-unsur dalam masyarakat terutama yang terlibat dalam proses terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia,” papar dia.
Sehingga ketika pemerintah melahirkan suatu tawaran penyelesaian, maka kata dia, sudah didukung oleh stakeholder yang terkait dengan proses pelanggaran HAM itu sendiri. Dengan kata lain, menurut Rahardjo, proses penyelesaian pelanggaran HAM tidak hanya ditempatkan di atas perspektif pelaku atau korban.
“Dia harus lebih tinggi lagi di atas itu semua, tempat kedudukannya dalam kepentingan bangsa ini. Jadi bangsa ini, kita tanya, kita menghadapi adanya pristiwa politik seperti ini, ada korban, kita mau apakan. Mulai dari pertanyaan itu aja. Dan apakah klo kita selesaikan kasus pelanggaran ini, maka kita sebagai bangsa akan menjadi bangsa yang kohesif, tidak lagi bicara masalah itu terus, tapi kita menatap ke depan Bersama. Di situ itu butuh yang namanya unsur keadilan yang bisa diberikan oleh negara sebagai otoritas yang ditunjuk melalui proses politik. Jadi dia harus ditempatkan di satu kepentingan bangsa bukan kepentingan politik, baik perpektif pelaku maupun korban,” jelas Rahardjo.
Sementara sekarang ini, kata dia, cara penyelesaian yang dilakukan Presiden Jokowi bakal tetap ada penolakan. Bahkan bisa dinilai menimbulkan pembicaraan di masyarakat, padahal punya tujuan menyelesaikan.
“Tapi karena menurut saya prosesnya salah dan sarat dengan kepentingan politik juga, maka dia tidak akan bergerak kemana mana, percaya saya, itu tidak akan bergerak ke mana mana,” tegas dia.
Rahardjo menerangkan sarat utama yakni pemerintah dan masyarakat harus satu suara dalam menyimpulkan sejarah bangsa terutama masalah pelanggaran HAM di masa lalu. Selain itu, proses membangun kesadaran politik masyarakat hari ini juga harus diurai.
“Jadi persoalannya bukan memberikan sanksi, memberikan reward, bukan di situ poinnya,” kata dia.
Dalam proses itu, kata dia, harus bisa diberi penanda politik bahwa yang dianggap merugikan bahsa bisa menghambat kemanjuan. Sehingga diharapkan jangan terjadi lagi ke depannya. Dia mencontohkan peristiwa KM 50. Menurut Rahardjo peristiwa KM 50 adalah pelanggaran HAM berat.
“Tapi karena satu siatuasi politik seperti ini, dia mendapat nilai berbeda, sebenarnya ini sama dengan apa yang pernah kita alami. Pelanggaran HAM. Meskipun di dalam spektrum kita dianggap iri, tapi kita mengacu kasus Tanjung Priok, Lampung, karena harus standar yang namanya pelanggaran HAM itu,” ungkap dia.
Dia mengaku mandeknya penyelesaian pemasalahan pelanggaran HAM karena adanya konflik kepentingan. “Ya ia, karena dulu yang terlibat konflik kemudian menghasilkan yang disebut pelanggaran HAM berat karena itu melibatkan masyarkat juga. Itu masalahnya, jadi bukan di aras politik saja harus diselesaikan,” tandas Rahardjo.