Rabu, 20 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / Perempuan Akar Rumput Bersuara: Refleksi 20 Tahun Perdamaian Aceh dan 80 Tahun Kemerdekaan

Perempuan Akar Rumput Bersuara: Refleksi 20 Tahun Perdamaian Aceh dan 80 Tahun Kemerdekaan

Selasa, 19 Agustus 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Memperingati Refleksi 20 Tahun Perdamaian Aceh dan 80 Tahun Kemerdekaan RI, perempuan akar rumput menyuarakan isu pemenuhan hak dan perlindungan perempuan dan anak di Aceh.

Ernawati, tokoh perempuan akar rumput Pidie sekaligus, Koordinator Program Flower Aceh menyebutkan makna 20 tahun perdamaian Aceh, dan 80 tahun Indonesia merdeka tidak sekedar lepas dari kontak senjata. 

"Bagi Saya arti damai dan merdeka bukan hanya berhenti dari suara tembakan atau lepas dari penjajahan. Damai dan merdeka berarti bisa bekerja tanpa takut, keluar rumah dengan tenang, dan dapat turut serta dalam pembangunan. Saya merasakan bahwa damai memberi ruang untuk tumbuh, dan merdeka memberi suara untuk didengar," tuturnya.

Tapi perjalanan belum selesai. Masih ada kemiskinan, ketidakadilan, dan suara perempuan yang sering diabaikan.

Sri Mayuliza, salah seorang anak korban konflik di Aceh Utara merasakan Dua puluh tahun perdamaian ini saya rasakan sebagai berkah, karena bisa tumbuh dalam suasana yang lebih tenang, berbeda dengan apa yang pernah dialami orang tuanya.

"Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, saya berharap perdamaian ini terus kita jaga, agar tidak ada lagi anak yang harus mewarisi luka dari perang, melainkan harapan untuk masa depan yang lebih baik," tegasnya.

Sementara itu, Muhklifah Perempuan penggerak kesehatan di Aceh Tamiang. "20 Tahun perdamaian dan 80 tahun kemerdekaan, saya merdeka adalah bebas dari bully baik secara fisik maupun psikis, seseorang akan dihargai tanpa melihat latar belakangnya dan mendapatkan respect dari semua pihak," jelasnya.

Dan perdamaian yang sesungguhnya akan tercipta karena adanya rasa empati antara individu yang satu dengan yang lain. 

"Merdeka adalah sesuatu yang dirasakan oleh jasmani dan damai adalah sesuatu yang dirasakan oleh hati. Perdamaian dan kemerdekaan adalah 2 hal yg berkaitan dan tidak dapat dipisahkan", tegasnya.

Annisa, Tokoh perempuan komunitas di Pidie menyebutkan makna merdeka baginya.

"Merdeka tapi masih seperti hidup di jaman penjajahan, artinya masih semua hal terbelenggu baik itu pendidikan, kebebasan berpendapat, keadilan karena keadilan itu hanya milik bagi kalangan atas saja sedangkan kita hidup masih seperti di jaman nya penjajah. Jika di zaman penjajahan hanya satu yg diperjuangkan yaitu kemerdekaan tapi sekarang banyak hal yang harus diperjuangkan. Damai hanya di nota Helsinki saja, tapi nyatanya semua yang diperjuangkan hanya tinggal di kertas saja. Bedanya sekarang bisa beraktifitas dengan bebas ketimbang masa konflik. Tapi keadilan bagi korban masih janji belaka. Padahal kita sudah terus menyuarakan, tapi tidak ada perubahan", tegasnya

Cut Ria, Keluarga penyintas kekerasan/paralegal komunitas di Aceh Besar menyuarakan keadilan bagi korban kekerasan.

"Delapan puluh tahun Indonesia merdeka dan dua puluh tahun perdamaian, tapi keadilan bagi para penyintas kekerasan belum tuntas. Sebagai keluarga penyintas dan paralegal komunitas, saya menegaskan: perdamaian sejati tidak cukup hanya tanpa senjata, tapi harus hadir dengan kebenaran, pemulihan, dan pengakuan. Kami tidak menuntut balas, kami menuntut keadilan", paparnya.

Khuzaimah, korban konflik di Aceh Utara menegaskan "Perempuan korban konflik di Aceh membutuhkan beberapa perubahan penting untuk memulihkan diri dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Beberapa yang harus menjadi perhatian penting dan dipenuhi meliputi pemulihan trauma perempuan korban konflik termasuk akses ke layanan kesehatan mental dan layanan dasar, Proses hukum yang adil dan transparan terhadap pelaku kekerasan, Partisipasi dalam proses pembangunan, serta pengakuan dan penghargaan atas pengalaman dan kontribusi mereka dalam proses perdamaian.

Mainar, Tuha peut Banda Aceh menegaskan, "Perdamaian tercapai saat terjadinya sunami Aceh, selama perdamaian perempuan sudah bisa ke luar malam, tidak ada ketakutan lagi bagi perempuan"

Lenih lanjut, Zahruna, ketua Forum Komunitas Akar Rumput (FKPAR) Aceh menegaskan, "Saat ini tanggung jawab kita untuk terus berjuang membangun Aceh dan bangsa ini supaya lebih baik. Kita bisa terus hidup aman tanpa ada kemiskinan dan penindasan terhadap perempuan, dan kemudahan mendapatkan pendidikan. Itulah arti kemerdekaa bagi perempuan.

Riswati, Direktur Eksekutif Flower Aceh, menyampaikan beberapa catatan dan rekomendasi.

1. Kami mendorong pengarusutamaan agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan (Women, Peace, and Security/WPS) sebagai bagian dari pembangunan Aceh yang berbasis kekhususan dan keistimewaan, sejalan dengan Maqashid Syariah dan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325.

2. Kami menekankan pentingnya peningkatan partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan yang responsif gender dan inklusif di seluruh kabupaten/kota, serta penguatan sistem data terpilah dan pemantauan berbasis bukti agar capaian keadilan gender dapat diukur secara berkala.

3. Prinsip GEDSI dan Pemenuhan Hak Anak harus diintegrasikan di semua sektor, khususnya enam urusan wajib layanan dasar, sekaligus mendukung pencapaian SDGs, terutama Tujuan 5 tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

4. Kami juga mendorong penguatan kapasitas institusi pemerintah dan non-pemerintah serta optimalisasi Alokasi Anggaran Responsif Gender (ARG) untuk mendukung kegiatan strategis, pemberdayaan perempuan, dan pencegahan diskriminasi maupun kekerasan berbasis gender.

"Dengan langkah-langkah ini, Aceh dapat membangun masa depan yang adil, setara, dan inklusif bagi semua", tutupnya.

Momentum Damai dan kemerdekaan mengingatkan kita bahwa merawat damai dan merdeka membutuhkan kerja bersama. Sebagai perempuan akar rumput, mereka siap terus berkontribusi di tingkat komunitas, mengingatkan, dan mengisi agar damai ini terjaga. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI