Peringati Hari Anti Korupsi Sedunia, Panwaslih, JMSI, dan GeRAK Aceh Gelar Forum Diskusi
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) pada tanggal 9 Desember tahun 2020, Sekolah Anti Korupsi Aceh bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Provinsi Aceh, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) dan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menggelar sereal diskusi dengan tema “Kawal Demokrasi, Wujudkan Pilkada Besih dan Berintegritas" melalui aplikasi Zoom Meeting, Selasa (08/12/2020).
Pada kegiatan itu, hadir narasumber dari Fungsional DIDKYANMAS KPK RI, Bennydictus Siumlala, Sekretaris JMSI Aceh, Akhiruddin Mahjuddin dan anggota Panwaslih Provinsi Aceh Koordinasi Divisi Penanganan Pelanggaran, Fahrul Rizha Yusuf.
Akhiruddin Mahjuddin menyampaikan, terkait peran media sebagai pilar demokrasi dalam pemberantasan korupsi menyebutkan dalam mewujudkan Pemilu yang berintegritas. Media sebagai pilar demokrasi ke-4 tentu sangat penting terhadap pesta demokrasi yang dilaksanakan esok.
"Media tidak hanya melakukan peliputan secara seremoni bahwa pilkada itu berjalan secara tertib dan aman tetapi juga mengungkap cerita dibalik pilkada bagaimana para calon menggunakan sumber anggaran untuk pemenangannya," jelasnya.
Akhiruddin melanjutkan, ada dua hal yang harus diungkapkan, pertama bagaimana petahan menggunakan APBD dan kekuasaan yang ada padanya merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Kedua bagaimana peran media mengungkap pelanggaran money politik (politik uang) karena biaya politik yang tinggi dapat mempengaruhi perilaku korupsi Kepala Daerah.
Sementara itu, Fahrul Rizha Yusuf dalam pemaparan materinya menyampaikan, pada setiap tahapan Pemilu Bawaslu mempunyai mandat pengawasan, pencegahan dan penanganan dugaan pelanggaran sesuai Undang-undang Pemilu.
"Bahaya laten politik uang setiap kontestasi pemilu di Indonesia kian meresahkan dan telah merusak sendi-sendi kehidupan berdemokrasi," terangnya.
"Memang ini butuh penanganan khusus dengan kewenangan yang besar dan ini tergantung dengan sistem perpolitikan di negara kita terutama politik hukum aturan kepemiluan," lanjutnya.
Anggota Panwaslih ini juga menyampaikan, dalam prakteknya aturan Pemilu juga masih terdapat banyak celah terutama berkaitan larangan dan sanksi khususnya pidana Pemilu berkaitan dengan praktek politik uang yang membutuhkan hukum acara khusus, sehingga aturan kepemiluan dapat dipraktekkan di seluruh Indonesia.
kemudian pola penanganannya menjadi lebih jelas tidak hanya kewenangan Pengawas Pemilu saja tetapi juga berikatan dengan kewenangan kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu di Bawaslu.
"Berdeda halnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mana seluruh unsur personil polisi dan Jaksa tunduk sepenuhnya ke lembaga KPK sedangkan anggota Gakkumdu dari kepolisian dan kejaksaan tunduk pada Instansi asalnya. Sehingga tim ini bener-benar bisa fokus dan cepat pada proses penanganan pelanggaran yang menjadi mandatnya," ungkapnya.
Tindakan money politik tidak hanya perberian berupa uang atau barang tetapi juga berupa janji calon kepada pemilih.
"Regulasi sudah menyatakan bahwa politik uang ini merupakan sesuatu yang membahayakan iklim demokrasi di Indonesia, pelaku money politik tidak mungkin berdiri sendiri pasti ada yang membiayainya, selama ini yang bisa dijerat hanya pada pelaku lapangan saja aktor intektualnya tidak bisa dijerat," tuturnya.
Berkaitan dengan politik uang bisanya dilakukan secara tersruktur, sistematis dan masif. Namun proses pembuktiannya dirasakan cukup berat dalam waktu yang sangat singkat.
"Yang seperti ini kita butuh skill khusus seperti yang dimiliki KPK untuk mengungkapnya," katanya.
Kemudian, Benydictus Siumlala mengatakan, terkait korupsi politik, tingkat pembangunan suatu Negara sangat dipengaruhi oleh tingkat korupsi. Korupsi yang marak terjadi akan menghambat pembangunan bangsa.
"Salah satu solusi yang disampaikan oleh Tranparancy International yaitu melalui reformasi sistem politik yaitu dengan mengelola secara baik benturan kepentingan yang akan terjadi, mengontrol pendanaan politik, memperkuat integritas Pemilu, mengatur keterbukaan aktivitas lobby politik, pelakuan yang sama terhadap setiap warga Negara, memperkuat peran masyarakat sipil dan menguatkan fungsi check and balances," jelasnya.
Bennydictus melanjutkan, beberapa penyebab korupsi politik yaitu Proses politik di Indonesia tergolong mahal, berdasarkan hasil kajian kemendagri bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menjadi Bupati atau Walikota sebesar 20-30 Miliar, sedangkan untuk menjadi Gubernur sebesar 20-100 miliar, selain itu penyebabnya yaitu pendanaan Negara yang tidak memadai dimana harga per suaranya adalah 16.922 rupiah sebagai dasar penghitungan ertimasi kebutuhan partai dari tahun ke-1 sampai tahun ke-5. Penyebab lainnya yaitu rendahnya rewarding remonerasi pejabat politik.
"Solusi yang diharapkan yaitu adanya mekanisme politik yang rasional dengan biaya politik yang terjangkau, pendanaan Negara memadai dan rewarding remonerasi pejabat politik yang baik" katanya.
Dalam penutup statement, Akhiruddin menyampaikan, media sebagai pilar demokrasi yang melakukan peran-peran memperkuat persepsi dan kesadaran publik untuk melakukan pemberantasan korupsi.
"Oleh karenanya kerjasama media dengan penyelenggara pemilu menjadi penting untuk memberikan penahaman kepada publik terkait money politik sehingga dapat terpilihnya kepala daerah yang bersih, akhirnya harapan keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu bisa terwujud," pintanya.
Sekretaris JSMI ini melanjutkan, media tentu punya misi sosial untuk melakukan upaya pendidikan dengan berkolaborasi bersama lembaga-lembaga yang fokus terhadap kepemiluan sehingga kerjasama ini menjadi sangat strategis untuk menguatkan posisi rakyat dalam setiap proses politik.
Pada kesempatan yang sama, Benydictus juga menyampaikan, kewenangan KPK dalam melakukan penindakan terbatas hanya pada tindak pidana korupsi sehingga tidak bisa menangani kasus berkaitan dengan Pemilu kecuali di dalamnya ada indikasi tindak pidana korupsi namun dalam hal pencegahan KPK juga sudah bekerjasama dengan KPU dan Bawaslu.
"KPK membuka diri untuk kerjasama baik dengan media atau pengawas Pemilu serta stakeholder terkait untuk mewujudkan sistem politik yang ideal" katanya.
Berkaitan dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh menteri perikanan dan menteri sosial yang merupakan anggota partai politik sehingga apakah mungkin KPK menulusuri aliran uang korupsi tersebut ke partai politik, namun KPK tidak memiliki kewengan itu karena partai politik bukan merupakan penyelenggara negara kecuali anggota partai politik tersebut yang merupakan penyelenggara Negara.
Benydictus berharap agar Undang-Undang KPK direvisi agar berwenang melakukan penyidikan terhadap partai politik.
Sementara itu, Fahrul dalam penutup argumennya menyampaikan, walaupun saat ini Aceh tidak melaksanakan pilkada namun Bawaslu/Panwaslih Provinsi Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota tetap melakukan pengawasan dan pendidikan demokrasi pemilu.
Fahrul berharap supaya ke depannya kerjasama Panwaslih Provinsi Aceh dengan KPK penting untuk dilakukan supaya melakukan mampu mencegah dan menangani praktek politik uang.
"Segenap komponen bangsa baik teman-teman media, lembaga sosial masyarakat (LSM), kampus dan kelompok sipil lainnya harus terlibat untuk mengawal demokrasi bangsa Indonesia sehingga cita-cita demokrasi ini dapat terwujud dan mewujudkan Pemilu yang berintegritas dan bermartabat," tutupnya [nora].