Pernyataan dan Walkoutnya Ketua DPRA, Ampon Man: Itu Sudah Tepat
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Staf Khusus Wali Nanggroe, Teuku Kamaruzzaman (Ampon Man). [Foto: Istimewa]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pernyataan Ketua DPRA, Saiful Bahri alias Pon Yahya mengenai Bendera Aceh harus segera berkibar ditanggapi positif oleh masyarakat Aceh.
Staf Khusus Wali Nanggroe, Teuku Kamaruzzaman (Ampon Man) mengatakan, statement Ketua DPRA itu sudah tepat.
“Karena mengenai Bendera Aceh itukan ada Qanunnya, statementnya sudah benar dan sudah tepat,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Rabu (8/6/2022).
Menurutnya, secara regulasi terkait Qanun Bendera itu sudah sah. “Kalau ada pembatalan, katakanlah adanya Perpres ataupun Peraturan Menteri itu tidak bisa jika merujuk pada UU yang lama,” sudah lewat waktunya.
Menurutnya lagi, terkait Qanun Bendera inikan menjadi hal yang terganjal dan menjadi perhatian khusus bagi semua pihak dan masyarakat Aceh.
“Inikan terganjal antara regulasi yang dibuat di Aceh dan regulasi yang ada di pemerintah pusat, karena secara regulasi terkait Qanun Bendera ini sudah sah, hanya Gubernur Aceh sampai saat ini tidak membuat Pergub mengenai tata cara pengibaran dan sebagainya, sehingga tidak dapat di kibarkan di kantor kantor Pemerintahan, Saya kira apa yang disampaikan oleh Ketua DPRA (Pon Yahya) sudah tepat,” jelasnya.
Dirinya mengatakan, jika ada yang tidak setuju atau berpandangan Skeptis terhadap ucapan Ketua DPRA artinya disini mereka yang berpandangan (Tidak Setuju atau pesimis) seperti itu tidak baca MoU Helsinki secara baik.
“Padahal sudah jelas tertulis dalam MoU Helsinki tentang Bendera, Hyme dan Lambang Aceh dan tentang Bendera sudah ada Qanunnya. “Perihal tersebut kan ditandai dengan adanya MoU Helsinki, jadi apa yang disampaikan oleh Ketua DPRA itu sudah benar dan tepat,” tegasnya.
Walkoutnya Pon Yahya dari Diskusi Seminar Rancangan UUPA
Menurut Ampon Man (sapaan akrabnya_Red), ketua DPRA mungkin beranggapan, ada beberapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat, terutama PP Nomor 3 tahun 2015 tentang kewenangan nasional yang ada di Aceh.
“Itukan mereduksi semua tentang kewenangan Aceh, setahu saya PP tersebut tidak dikonsultasikan dengan pemerintah Aceh, namun jelas PP tersebut mereduksi semua kewenangan Aceh yang sudah kita sepakati di MoU Helsinki, dalam Mou Helsinki menjelaskan semua sektor publik itu menjadi Hak Aceh, jika ada regulasi seperti itu harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pemerintah Aceh sebelum regulasi tersebut disahkan,” jelasnya.
Ampon Man mengatakan, jikapun ada konsultasi terhadap PP tersebut, DPRA mungkin tidak terlibat. Menurutnya, hal tersebut menjadi tanda tanya bagi Ketua DPRA terkait kegiatan dengar pendapat (Seminar Rancangan UUPA) mengenai pembahasan UUPA.
“Saya rasa apa yang dilakukan oleh Ketua DPRA itu sudah tepat sekali, jangan sampai kita terjebak dengan pembicaraan biasa-biasa saja, tapi sudah dianggap konsultasi oleh pemerintah pusat (Standing point Ketua DPRA),” tegasnya lagi.
Lanjutnya, kebanyakan regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat itu dilakukan secara sepihak tidak dinegosiasikan dengan pemerintah Aceh.
“Tidak diambil pandangan-pandangan yang tepat, sehingga beberapa regulasi itu secara sepihak, terutama PP Nomor 3 Tahun 2015, bahkan PP tersebut juga bertentangan UUPA,” jelasnya.
Menurutnya lagi, Forum tersebut seperti tidak menghormati Ketua DPRA. “Karena kan juga ada dipertegas oleh salah satu Akademisi yang ada didalam Forum itu untuk merespon pertanyaan Ketua DPRA, namunkan tidak diindahkan sehingga itu sama saja dengan tidak menghormati Ketua DPRA, padahal pertanyaan Ketua DPRA itu sangatlah standar dan bisa dijawab,” jelasnya.
Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA)
Ampon Man mengatakan banyak sekali dalam UUPA itu belum Optimal, masih banyak PP yang belum ada. “Bahkan masih banyak PP yang sudah ada bertentangan UU, salah satunya PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang Bendera Daerah, itu juga menurut saya bertentangan dengan UU,” sebutnya.
“PP tidak boleh bertentangan UU, dan UU tidak boleh bertentangan Konstitusinya (UUD 1945), PP Nomor 77 tahun 2007 itu bertentangan UU dan berakibat fatal dimata Hukum,” sebutnya.
Lebih lanjut, Ampon Man menyampaikan penyelesaian mengenai hal tersebut itu lebih kepada bagaimana cara komunikasi dalam hal ini pemerintah Aceh dengan pemerintah Pusat.
“Sudah 17 tahun, sejauh belum ada kewenangan pemerintah Aceh yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat, UUPA itu ditujukan kepada Kesejahteraan masyarakat Aceh itu sendiri,” Namun maksud itu belum terlaksana di Aceh pungkasnya. [ftr]