kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Pesawat N219 untuk Konektifitas dan Evakuasi Medis

Pesawat N219 untuk Konektifitas dan Evakuasi Medis

Minggu, 15 Desember 2019 00:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Juru Bicara Pemerintah Aceh, Saifullah Abdulgani. Foto: Ist

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Rencana Pemerintah Aceh mengadakan pesawat N219 Nurtonio bukan buat kepentingan pejabat atau pun elite Aceh, melainkan untuk konektifitas antarwilayah dan evakuasi medis dari kabupaten/kota, yang jauh dari pusat rujukan kesehatan utama di Aceh. Hal tersebut disampaikan Juru Bicara Pemerintah Aceh, Saifullah Abdulgani menjawab media ini di Banda Aceh, Sabtu (14/12/2019) malam. 

Menurut Juru Bicara yang akrab disapa SAG itu, pengembangan infrastruktur terintegrasi untuk menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan kesenjangan antarwilayah tersebut, merupakan bagian dari visi dan misi Pemerintah Irwandi-Nova yang target-targetnya ditetapkan dengan Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2019 tentang RPJMA 2017-2022. 

"Terminologi pesawat udara memang tidak tersurat, namun moda transportasi udara sebagai armada konektifitas atarwilayah diperlukan untuk mencapai target pembangunan dalam RPJMA tersebut," katanya. 

Penting dicatat, katanya melanjutkan, Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Plt Gubernur Aceh Ir. Nova Iriansyah, MT dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di Bandung, Senin (9/12) lalu, bukan dadakan atau rencana baru. Pihak PT DI meminta pembaharuan MoU sebelumnya yang ditandatangani Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dengan PT DI di sela Singapore Airshow pada 5 Februari 2018. 

Hal ini menunjukkan, lanjut SAG, pembangunan Aceh yang sedang dilaksanakan saat ini merupakan berlanjut dan berkesinambungan sesuai rencana dan target yang hendak dicapai selama periode lima tahun 2017-2022. Salah satu taget itu, konektifitas antarwilayah supaya lalu lintas orang maupun lalu lintas barang relatif sama lancarnya di seluruh Aceh. 

Evakuasi

Selain untuk konektifitas atarwilayah, lanjut SAG, moda transportasi udara sangat mendesak kebutuhkannya untuk evakuasi medis. Korban kecelakaan fatal maupun pasien penderita penyakit akut dari daerah terjauh dan daerah kepulauan harus bisa dievakuasi kurang dari delapan jam, seperti serangan jantung atau stroke. 

"Apabila tidak dapat menjangkau pusat rujukan kesehatan yang relevan sesuai kebutuhan medis dalam waktu emas (gold period) itu, resiko kematiannya di perjalanan sangat tinggi," jelas SAG yang mantan Humas Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) itu. 

"Korban kecelakaan fatal atau penderita penyakit akut lainnya harus tiba di pusat rujukan kesehatan utama kurang dari delapan jam," tambah Epidemiolog penyandang gelar Magister Kesehatan Masyarakat tersebut. 

Lebih lanjut SAG menjelaskan, sayangnya evakuasi medis pasien JKA dengan ambulance udara terpaksa ditiadakan, sejak dua tahun silam. Sebab, izin operasional pesawat Mission Aviation Fellowship (MAF), yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Aceh tidak diperpanjang oleh Kementerian Perhubungan, sejak akhir 2017. 

Pemerintah Aceh melalui Dinas Kesehatan Aceh pernah mencoba cari alternatif dengan pesawat perintis lainnya, namun biaya operasionalnya tidak terjangkau. 

"Umumnya pesawat-pesawat perintis di Sumatera home base-nya di Sumatera Utara dan Pekan Baru, bukan di Bandara Sultan Iskandar Muda, seperti pesawat MAF sebelumnya," jelas SAG. 

"Apabila ada pasien emergensi di Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Subulussalam, Pulau Simeulue atau daerah-daerah sulit lainnya, Program JKA harus menanggung biaya operasionalnya sejak dari home base-nya, menjemput pasien, menerbangkannya ke pusat rujukan kesehatan tujuan. Kita harus membayar biaya operasional PP," tambahnya lagi.

Rencana pembelian N219 Nurtonio dari PT DI pada tahun 2021 atau tahun 2022 yang akan datang, salah satu urgensinya untuk evakuasi medis atau evakuasi pada saat bencana lainnya. Tentu saja semua rencana tersebut akan dibahas bersama wakil-wakil rakyat di DPRA secara kelembagaan untuk kesepakatan Pemerintahan Aceh. 

"Kesepakatan dengan DPRA secara kelembagaan merupakan keniscayaan. MoU yang diperbaharui di Bandung itu masih sebatas framework agreement, bukan kontrak jual-beli," terang SAG menutup pembicaraan.

Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda