Minggu, 29 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / Polemik Blang Padang, Akademisi Unaya: Saatnya Negara Duduk Bersama Selesaikan

Polemik Blang Padang, Akademisi Unaya: Saatnya Negara Duduk Bersama Selesaikan

Sabtu, 28 Juni 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Akademisi Universitas Abulyatama Aceh (Unaya) Dr Usman Lamreung MSi. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi Universitas Abulyatama Aceh (Unaya), Dr. Usman Lamreung M.Si, menegaskan bahwa secara historis, Blang Padang memang sah merupakan tanah wakaf untuk kemaslahatan Masjid Raya Baiturrahman Aceh.

“Kalau merujuk pada data sejarah yang jelas, Blang Padang adalah milik Kesultanan Aceh Darussalam yang kemudian diwakafkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk Masjid Raya. Fakta ini sudah tertulis dalam berbagai literatur, bahkan termuat dalam catatan kolonial Belanda,” tegas Dr. Usman kepada media Dialeksis.com, Sabtu (28/6/2025).

Dr. Usman merujuk salah satunya kepada buku De Inrichting Van Het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaat yang ditulis K.F.H. Van Langen pada tahun 1888, di mana disebutkan bahwa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) telah membeli persawahan rakyat di kawasan Blang Padang dan Blang Poengai, lalu mewakafkannya kepada Masjid Raya Baiturrahman untuk mendukung kebutuhan imam, khatib, dan bilal, serta pengelolaan masjid.

“Dalam sejarah Aceh, tanah wakaf tidak boleh dialihfungsikan semaunya. Di Blang Padang itu dulu ada sawah yang disebut Oemong Sara, bahkan tidak boleh diwariskan, dijual, atau disewakan untuk kepentingan pribadi,” ujar Dr. Usman.

Berdasarkan Peta Koetaradja tahun 1915, Blang Padang tercatat sebagai alun-alun Kesultanan Aceh, dan tetap dipertahankan fungsinya meskipun memasuki era kolonial Belanda.

"Artinya, tanah ini tidak pernah menjadi milik kolonial. Statusnya tetap tanah wakaf milik Masjid Raya Baiturrahman,” sambungnya.

Dalam perjalanan sejarah, Blang Padang memang terus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat Aceh, mulai dari even-even budaya seperti Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) sejak 1958, hingga menjadi lokasi penyelenggaraan MTQ Nasional XII pada 1981 yang kala itu dinamakan Desah Arafah.

“Blang Padang sudah menjadi ruang publik turun-temurun, terbuka untuk semua kalangan, pelajar, bahkan menjadi pusat aktivitas kebudayaan. Ini nilai sejarahnya yang luar biasa,” kata Dr. Usman.

Pasca MTQ, pemerintah Aceh kembali memfungsikan Blang Padang sebagai ruang terbuka hijau, tercatat dalam Qanun Kota Banda Aceh Nomor 03 Tahun 2003 dan Qanun Nomor 04 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh. Sejak itu, pemeliharaannya dibiayai oleh APBK Banda Aceh dan APBA Aceh.

Namun, dalam praktiknya, Blang Padang saat ini dikelola oleh institusi militer (Kodam), yang menurut Dr. Usman perlu segera dibicarakan secara baik-baik untuk menuntaskan polemik berkepanjangan di tengah masyarakat.

“Yang harus dipahami, status wakaf tidak hilang hanya karena berubah pengelolaan. Masyarakat Aceh sudah tahu dan mengakui bahwa Blang Padang adalah tanah wakaf Masjid Raya. Persoalan ini seharusnya bisa diselesaikan secara administratif antar-institusi negara,” jelasnya.

Menurutnya, Pemerintah Aceh sudah melakukan upaya pendataan melalui proses pendaftaran akta wakaf di KUA dengan aplikasi SIWAK, serta menyiapkan surat resmi ke Presiden Republik Indonesia.

“Kalau melihat Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI tahun 2024, di sana jelas tertulis bahwa Sultan Iskandar Muda membeli sawah rakyat, lalu mewakafkan ke Masjid Raya. Ini tidak bisa diabaikan, apalagi sudah menjadi fakta sejarah,” lanjutnya.

Dr. Usman menegaskan, penyelesaian status Blang Padang bukan hanya soal administratif, tetapi juga menyangkut identitas dan marwah sejarah rakyat Aceh.

“Fakta sejarah itu tidak bisa dihapus. Masyarakat Aceh ingin agar tanah Blang Padang kembali diakui sesuai niat wakaf Sultan Iskandar Muda. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi juga soal penghargaan terhadap warisan budaya dan identitas kita,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI