Polemik BPMA, Kepala Dilepas, Ekor Tetap Dipegang
Font: Ukuran: - +
Anggota DPD RI asal Aceh, H. Sudirman. Foto: Net
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Aceh, H. Sudirman menyebutkan puluhan aturan kementrian terkait yang berbenturan dengan kewenangan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) telah menyebabkan lembaga pengawasan migas di Aceh itu tak bisa berbuat banyak. Pun demikian, pria yang akrab disapa Haji Uma itu masih berharap BPMA dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan Aceh, khususnya melalui sektor minyak dan gas bumi.
"Hakikatnya, operasional BPMA tidak secara fundamental atau permanen seperti yang diharapkan. Harapan kita BPMA menjadi satu fasilitator untuk mengembangkan pertambangan di Aceh, namun belum sesuai harapan kita, belum sesuai dengan UUPA. BPMA masih dibawah SKK Migas, sehingga semua penentuan perizinan ada pada SKK Migas," ujar H. Sudirman saat dikonfirmasi Dialeksis.com, Sabtu, (4/1/2020). Menurutnya, BPMA hanya mampu memberikan sebatas rekomendasi-rekomendasi, namun secara tupoksi, lanjut dia, lembaga tersebut tidak bisa bergerak luwes sesuai harapan seperti yang termaktub pada UU kekhususan yang dimiliki Aceh.
"Faktornya ya itu tadi. Kewenangan yang telah diatur pada PP No 23 Tahun 2015 terbentur pada aturan 40 Permen terkait, sehingga banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan namun terkendala. BPMA tidak ubahnya seperti sarana dan prasana pelengkap saja, sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan seperti yang diharapkan. Kita berharap BPMA menjadi garda terdepan dalam mempercepat pembangunan daerah melalui sektor pertambangan. Harusnya BPMA menjadi lokomotif untuk hal ini," jelas Haji Uma.
Namun, sambung dia, keadaan yang diharapkan tidaklah demikian karena berbenturan dengan aturan beberapa Permen yang bentrok dengan keberadaan BPMA yang harusnya manunggal.
"Koordinasi boleh dengan pusat, tapi Ini kan masih dibawah tekanan pusat. Jadi persis seperti istilah 'kepala dilepas, namun ekor tetap dipegang," ujarnya memberi tamsil.
Dia melanjutkan, pembahasan Prolegnas tahun 2020 yang menyertakan beberapa aturan kekhususan Aceh harus dilihat sebagai sebuah peluang untuk menyelesaikan persoalan ini.
"Ini memang peluang, tapi tergantung dari pendiskusian dan perdebatan. Memang harapan kita seperti itu. Semangatnya seperti itu, memperbaiki yang belum lengkap. Dengan terbentuknya Forbes merupakan sebuah pola untuk mempercepat mana saja kewenangan-kewenangan daerah yang selama ini tereduksi atau barangkali tidak secara proporsional berjalan. Jadi ruang-ruang kosong itu harus terisi semua. Seyogyanya seperti itu," ucap senator asal Aceh, H. Sudirman.