Senin, 28 April 2025
Beranda / Berita / Aceh / Posko Perlawanan di Lahan Sengketa ASN

Posko Perlawanan di Lahan Sengketa ASN

Senin, 28 April 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Sabtu (26/4/2025), ratusan warga Gampong Seuneubok Pusaka di Trumon Timur, Aceh Selatan, menggelar aksi di lahan perkebunan PT Agro Sinergi Nusantara. Foto: doc Kolase Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Aceh Selatan - Ratusan warga Gampong Seuneubok Pusaka, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, menggelar aksi tegas di lahan perkebunan PT Agro Sinergi Nusantara (ASN) pada Sabtu (26/4/2025). Aksi ini menuntut pengembalian 165 hektar lahan yang diklaim warga sebagai hak mereka, namun dikuasai perusahaan sawit tersebut selama lebih dari dua dekade. Aksi berlangsung selama satu hari penuh, disertai penyegelan lahan, panen simbolis tandan sawit, dan pendirian posko perlawanan sebagai bentuk penolakan terhadap status quo sengketa yang dinilai tak kunjung diselesaikan pemerintah maupun perusahaan.

Ketegangan antara masyarakat dan PT ASN mencapai puncaknya ketika warga membangun “Posko Gerakan Masyarakat Seuneubok Pusaka” di atas lahan sengketa. Posko ini tidak hanya menjadi simbol perlawanan, tetapi juga pusat koordinasi advokasi, edukasi hak lingkungan hidup, serta pengumpulan dukungan solidaritas. Sebanyak 10 warga secara bergiliran menjaga posko setiap hari sebagai bukti komitmen merebut kembali hak mereka.

“Kami sudah lelah menunggu janji. Perusahaan dan pemerintah tidak menunjukkan itikad baik selama 20 tahun. Ini perjuangan hidup-mati,” ujar Syahminan, Ketua GUNTUR, organisasi perjuangan warga.

Sengketa berakar pada program transmigrasi lokal tahun 1989 - 1990, ketika pemerintah mengalokasikan 1.170 hektar untuk 300 KK di wilayah tersebut. Masing-masing keluarga mendapat 2 hektar untuk pemukiman dan kebun. Namun, situasi berubah drastis saat konflik Aceh memanas di era 1990 - an, memaksa sebagian warga mengungsi.

PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Krueng Luas kemudian masuk pada 1995 dengan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 6.100 hektar di Aceh Selatan, termasuk sekitar 1.000 hektar di Seuneubok Pusaka. Pengelolaan lahan ini dialihkan ke PT ASN, yang hingga kini tetap menguasai 165 hektar lahan yang diklaim warga sebagai milik mereka.

Warga telah berulang kali mengupayakan penyelesaian, termasuk melalui jalur hukum dan mediasi. Pada 2004, tuntutan pengembalian 165 hektar sempat menjadi sorotan media. Surat Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Aceh Selatan tahun 2005 mengakui 55 hektar lahan PTPN I yang harus dikembalikan, namun warga menolak karena yakin luas lahan yang diambil perusahaan mencapai 165 hektar.

“Surat itu tidak adil. Perusahaan mengambil lebih banyak, dan kami tidak akan berhenti sampai hak kami dipulihkan,” tegas Afifuddin Acal dari WALHI Aceh, yang mendampingi perjuangan warga.

Aksi Sabtu lalu menghasilkan tiga kesepakatan: pertama; posko warga tetap berdiri di area sengketa, meski awalnya ditentang PT ASN dan kepolisian. Kedua; larangan memanen sawit oleh kedua pihak selama proses mediasi, dan ketiga; tenggat waktu 100 hari bagi perusahaan untuk menyelesaikan konflik.

Meski kesepakatan telah ditandatangani oleh perwakilan warga, WALHI Aceh, Camat Trumon Timur, Kapolsek, Danramil, dan anggota DPRK Aceh Selatan, manajer PT ASN menunda penandatanganan hingga Minggu (27/4) untuk berkonsultasi dengan direktur.

“Jika hingga Minggu perusahaan tidak menandatangani, lahan ini otomatis menjadi milik kami,” tegas Syahminan.

Masyarakat kini menanti respons final PT ASN. Aksi ini bukan hanya tentang tanah, tetapi juga tentang keadilan dan pengakuan hak warga yang terabaikan puluhan tahun. Jika perusahaan kembali mengulur waktu, eskalasi konflik diperkirakan tak terhindarkan.

“Ini ujian bagi pemerintah dan korporasi: apakah hukum dan hak rakyat kecil benar-benar ditegakkan?” pungkas Afifuddin.

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    diskes