Praktik Mafia Tanah Masih Merajalela, Pemerintah Diminta Perbaiki Tata Kelola Birokrasi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Aktivis Hukum dan Kebijakan Publik Aceh, Zulfikar Muhammad.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Permasalahan konflik, sengketa dan perkara pertanahan di Indonesia yang setiap tahun tidak selesai bahkan cenderung meningkat. Salah satu permasalahan pertanahan yang tidak segera selesai adalah mafia tanah. Sampai dengan 2020, Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menangani kurang lebih 248 kasus mafia pertanahan.
Sepertinya, tidak kurang-kurang upaya pemerintah dalam pemberantasan mafia tanah. Mulai zaman pemerintahan SBY misalkan, pemerintah pada saat itu membuat Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum, salah satu tugasnya untuk memberantas mafia tanah.
Lalu pada zaman Presiden Joko Widodo, dibentuklah Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria, yang ternyata tidak efektif juga dalam memberantas mafia tanah. Yang terakhir, Pada 2021 ini, BPN membuat Satgas Anti Mafia Tanah, yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum, kepolisian, dan kejaksaan melakukan pemberantasan praktik jahat ini.
Menanggapi fenomena tersebut, Aktivis hukum dan kebijakan publik Aceh, Zulfikar Muhammad mengatakan praktik mafia tanah tidak berjalan sendiri, banyak pihak yang terlibat baik dari pemodal atau aparatur pemerintah juga ikut terlibat.
"Setidaknya terdapat beberapa modus terkait persoalan mafia tanah, mulai dari rekayasa alat tanah, jumlah pengukuran tanah, analisa harga tanah, sampai pada kepemilikan tanah yang kemudian pemiliknya bukan pemilik aslinya, serta merubah notaris Akta Jual Beli Tanah (AJB)," sebut Zulfikar saat dihubungi Dialeksis.com, Rabu (26/01/2022).
Menurutnya, sindikat mafia tanah memang cukup kuat, melihat beberapa data terkait dengan pola pembangunan dan penyediaan tanah yang ada di Aceh, terlihat bahwa biaya pembangunan di Aceh itu cukup mahal.
"Jadi jika dibandingkan dengan anggaran yang ada Rp17 Triliun hanya bisa menghasilkan beberapa kawasan atau area baru yang bisa dibangun, umumnya kendala itu karena soal pembelian tanah. Jadi misalnya ada fasilitas pemerintah yang tiba-tiba dibangun itu harga tanah di area pembangunan itu akan naik drastis," kata Zulfikar menjelaskan.
Kondisi itu, kata dia, sangat merugikan bagi Aceh karena biaya pembangunan yang terlalu mahal hingga tidak ada pilihan lain, jumlah pembangunan yang dilakukan juga sangat sedikit.
Mantan Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh itu menjelaskan, ada ratusan kasus sengketa tanah itu umumnya antara masyarakat dengan perusahaan. Disaat Perusahaan menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) juga sebenarnya itu tumpang tindih hingga tanah itu dengan mudah pindah kepemilikannya karena ketidakjelasan.
"Jadi upaya sertifikasi tanah juga hingga mengganti sampai kepada kepemilikan. Berbicara terkait tanah maka ada sejarah, tanah yang muncul akibat waris akibat jual beli atau akibat penguasaan fisik tanah, dan tidak semua tanah menjadi milik karena ada tanah yang cuma garap atau bagian dari kelola saja," jelasnya lagi.
Kondisi inilah, kata dia, yang dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk menggeruk pundi-pundinya dengan merubah dokumen-dokumen tanah. Misalnya, daerah di Aceh paling rawan terjadi mafia tanah diantaranya, Kabupaten Bireuen, Aceh Utara, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Aceh Tengah, termasuk Banda Aceh dan Aceh Besar.
Selain itu, lanjutnya, kasus masyarakat yang menduduki pinggiran sungai Lamnyong Banda Aceh, padahal pinggiran sungai adalah hak negara yang tidak boleh diperjualbelikan.
"Penguasaan fisik itu menjadi cara masuk di mafia tanah karena dengan memprovokasi masyarakat, sering masyarakat salah paham bahwa tanah yang ada di lokasi desa atau wilayah gampong menjadi tanah umum dia, padahal itu belum tentu," ungkapnya.
Karena, kata Zulfikar, tanah itu ada sejarah kepemilikannya, jadi sering masyarakat beranggapan bahwa itu tanah gampong, tanah gampong juga harus ada alas haknya dari mana, apakah itu wakaf, hibah atau sedekah.
"Nggak tiba-tiba kalau ada hutan di gampung dia lantas disebut tanah gampong, gampong itu hanya menguasai secara administrasi. Kalaupun tanah ulayat itu juga ada penetapan dari kementerian atau pemerintah daerah ditetapkan menjadi tanah gampong," terangnya.
Untuk itu, dalam memberantas kasus terhadap maraknya mafia tanah di Aceh, pemerintah harus memperbaiki birokrasi terutama birokrasi yang mengurus soal tanah, mulai dari Badan Pertanahan Nasional sampai kepada struktur birokrasi desa.
"Birokrasi itu perlu diperbaiki mulai dari mental, pengetahuan, dan penerapan dan aplikasi hukumnya kalau tidak mereka akan menjadi sasaran dari mafia tanah, karena mafia tanah langsung negosiasi dalam bentuk uang," tegasnya.
Kemudian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional harus melakukan upaya menindakan atau menerbitan terhadap tanah yang belum ada dokumen. Misal, terkait peta wilayah desa, harus ada aplikasi yang bisa dilihat publik bahwa di desa itu tanah siapa saja yang sudah dipetakan.
"Selama ini, BPN sama strukturnya tidak punya satu keterbukaan informasi sehingga tiba-tiba orang bisa klaim tanah tersebut padahal dia cuma bisa dilihat dari peta kepemilikan tanah atau peta desa dengan penetapan siapa saja pemilik tanah di desa tersebut," tuturnya.
Menurut Zulfikar, upaya penegakkan hukum menjadi hal terpenting karena soal penyerobotan tanah baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan itu harus jelas.
"Jangan sampai kalau rakyat menyerobot tanah langsung ditindak, terus waktu perusahaan menyerobot tanah masyarakat malah tidak ada penindakan hukumnya. Jadi kondisi inilah mafia tanah dapat mengendalikan kondisi hukum maupun administrasi tentang pertanahan," pungkasnya.