DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Lonjakan harga tiket pesawat jelang libur nasional tahun 2025 kembali menjadi sorotan. Tiket Garuda Indonesia untuk rute tertentu bahkan menembus angka Rp.15 jutaan per penumpang, maskapai Batik harga tiket Rp. 9 jutaan per penumpang, sementara maskapai lain yang berkisar Rp. 4 jutaan perpenumpang.
Fenomena ini terjadi secara rutin setiap momentum liburan besar seperti Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru, memicu keluhan masyarakat yang kesulitan mengakses tiket terjangkau. Konsumen pun mengaku “terbiasa” dengan situasi ini, meski kerap dipaksa merogoh kocek dalam-dalam atau mencari alternatif transportasi darat/laut yang tak kalah padat.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Bidang Ilmu Transportasi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ir. H. Herman Fithra, ST, MT, IPM, ASEAN.Eng., menyatakan bahwa kenaikan harga tiket yang ekstrem ini merupakan cerminan dari ketimpangan sistemik antara permintaan (demand) dan kapasitas (supply).
“Tingginya permintaan di momen liburan tidak diimbangi dengan ketersediaan kursi angkutan menghadapi libur nasional yang tahun ini le…“ih panjang dari tahun 2024. Ketersedian sarana dan prasarana yang terbatas, serta kebijakan penetapan harga dinamis (dynamic pricing) yang tidak berkeadilan. Kita semua harus memahami, bahwasanya Transportasi (perjalanan) adalah hak setiap warga negara. Maka negara harus hadir membantu rakyatnya untuk melakukan perjalanan, apalagi dalam hajatan besar masyarakat Indonesia merayakan Idul fitri 1446 H tahun ini. Transportasi udara harus menjadi kebanggaan rakyat Indonesia, seperti yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam kegiatan "Silaturahmi dan Panel Diskusi Presiden Republik Indonesia dengan Rektor serta Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, Istana Negara Kamis 13 Maret 2025. Kebagaan tersebut akan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia bila rakyat dapat membeli yiket dengan harga yang wajar. Oleh karenanya, semua pihak yang terlibat dalam bisnis ini harus mendukung program Presiden kita. Tiket yang mahal dan keterbatasan penerbangan pesawat adalah lingkaran masalah yang terus berulang,” ujarnya kepada Dialeksis, Senin (24/3/2025).
Menurut Herman Fithra, setidaknya ada tiga faktor utama yang memicu fenomena ini, pertama katanya akibat tidak terkoordinasi dengan baik lonjakan lermintaan. Padahal sudah diketahui lonjakan permintaan jasa transportasi setiap hari raya idul fitri.
"Lonjakan penumpang hanya terjadi di waktu tertentu ini, seyogya ya dapat diprediksi dengan baik. Sehingga dapat menambah frekwensi penerbangan, tetapi maskapai enggan menambah frekuensi penerbangan kafena ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan karena risiko ketidakpastian permintaan di luar periode puncak,” jelas Prof Herman yang juga Rektor Universitas Malikussaleh.
Lanjut menjelaskan kedua, keterbatasan sarana dan prasarana seperti Soekarno-Hatta sudah over kapasitas saat arus puncak, ditambah lagi terminal 3 sedang di renovasi sehingga penambahan slot pesawat hampir mustahil dilakukan. Jadi saat maskapai harus berangkat ke daerah lain gunakan bandara yang over kapasitas maka otomatis akan menunggu antrian untuk terbang.
“Inilah menyebabkan salah satunya kenapa sering delay dan harga tiket naik,” ungkapnya.
Selain itu ketiga, terkait biaya operasional maskapai sudah jadi rahasia umum kalau kenaikan harga avtur, biaya perawatan pesawat, dan beban pajak turut menjadi alasan maskapai menaikkan tarif, meski seringkali dianggap tidak proporsional.
“Maskapai menggunakan algoritma dynamic pricing yang memungkinkan harga melonjak drastis saat permintaan tinggi. Namun, regulasi yang mengawasi praktik ini masih lemah. Di sisi lain, pemerintah juga tidak memiliki instrumen yang memadai untuk intervensi harga di saat darurat,” papar Herman.
Tawaran solusi elegan dan berkelanjutan dari Prof Herman Fithra mulai dari aturan dan buat regulasi harga dinamis yang transparan.
“Pemerintah perlu membuat aturan batas maksimal kenaikan harga tiket (misalnya 150% dari harga normal) dan mewajibkan maskapai mengumumkan kuota kursi murah (low fare quota) di setiap penerbangan,” usulnya.
Jika memungkinkan menurut Prof Herman optimalisasi transportasi multimoda, tujuannya untuk integrasi tiket pesawat dengan kereta api atau bus melalui sistem one-ticket payment untuk mengurangi beban permintaan di jalur udara.
Selain itu menurut Prof Herman solusi lainnya, diperlukan insentif untuk maskapai yang melayani rute-rute kurus seperti pengurangan pajak bagi maskapai yang membuka rute baru ke daerah terpencil, sehingga penumpang mampu membeli tiket penerbangan dan memiliki lebih banyak opsi.
“Kita tidak bisa hanya menyalahkan mekanisme pasar. Diperlukan kolaborasi antara regulator, maskapai, dan masyarakat. Misalnya, kampanye early booking dengan diskon signifikan bagi yang membeli tiket 6 bulan sebelumnya,” tambahnya.
Di balik polemik harga tiket, Herman Fithra mengingatkan bahwa transportasi udara seharusnya tidak hanya menjadi komoditas ekonomi, melainkan juga bagian dari hak mobilitas dan kebanggaan rakyat.
“Jika harga terus melambung, yang terjadi adalah exclusive mobility hanya kelompok tertentu yang bisa pulang atau liburan. Pemerintah perlu hadir sebagai penyeimbang agar akses transportasi tetap inklusif,” tegasnya.
Lonjakan harga tiket liburan adalah masalah multidimensi yang butuh solusi berani dan terstruktur. Tanpa intervensi kebijakan yang progresif, masyarakat akan terus terjebak dalam rutinitas keluhan yang sama. Seperti kata Herman Fithra: “Transportasi yang adil adalah cermin peradaban. Jika kita abai, yang lahir adalah generasi yang terfragmentasi oleh ketidaksetaraan akses.” [arn]