Jum`at, 15 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / Prof Nazamuddin: Aceh Rawan Konflik Jika Angka Kemiskinan di Atas 10 Persen

Prof Nazamuddin: Aceh Rawan Konflik Jika Angka Kemiskinan di Atas 10 Persen

Jum`at, 15 Agustus 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Prof. Dr. Nazamuddin, S.ET., M.A., Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK) Bidang Ilmu Ekonomi Pembangunan. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Angka kemiskinan di sebuah wilayah seringkali menjadi cerminan stabilitas sosial dan politiknya. Di Aceh, isu kemiskinan bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan juga fondasi penting untuk mencegah terulangnya konflik di masa depan.

Menurut Prof. Dr. Nazamuddin, S.ET., M.A., Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK) Bidang Ilmu Ekonomi Pembangunan, mencapai target kemiskinan di bawah 10% adalah langkah krusial bagi Aceh untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.

Bank Dunia pernah menyatakan bahwa konflik atau kesenjangan sosial tidak akan terjadi jika angka kemiskinan berada di bawah 5%.

Pernyataan ini menjadi pengingat bagi Aceh, di mana angka kemiskinan masih bertengger di angka 12%. Meskipun jauh di bawah tingkat kemiskinan nasional yang berada di angka 8%, perbedaan ini menunjukkan adanya pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah.

"Di Aceh, minimal harus di bawah 10 persen. Kalau bisa ya rata-rata 8 persen agar sama dengan nasional. Itu baru mantap," ujar Prof. Nazamuddin kepada media dialeksis.com usai Bincang Damai The Aceh Institute dengan topik refleksi dua dekade Pembangunan perdamaian Aceh, Kamis (14/8/2025) malam.

Target ini bukan sekadar angka, melainkan strategi untuk mencegah konflik yang pernah melanda Aceh. Kemiskinan, menurut beliau, adalah salah satu pemicu utama konflik.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa ada banyak faktor lain yang berkontribusi, seperti identitas, simbol, masalah politik, bendera, dan masalah batas wilayah. "Jadi banyak aspek sebenarnya," ujarnya.

Perdamaian yang dirasakan masyarakat Aceh setelah penandatanganan Perjanjian Helsinki pada 2005 harus dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan.

Prof. Nazamuddin berpendapat bahwa perdamaian akan terasa hampa jika masyarakat masih hidup dalam kemiskinan.

"Sangat penting menciptakan kesempatan, jadi orang akan merasa ada manfaat setelah perdamaian," tegasnya.

Ia menambahkan bahwa tapi kalau perdamaian tetap miskin, ini perdamaian tidak ada guna. Dalam hal ini, perdamaian sejati bukan hanya tentang ketiadaan perang, melainkan juga tentang adanya harapan, kesempatan, dan perbaikan kualitas hidup bagi seluruh masyarakat.

Ia berharap kepada pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Menurutnya, pemerintah harus lebih fokus dalam menciptakan kesempatan bagi masyarakat untuk keluar dari jurang kemiskinan. Salah satu caranya adalah melalui program pelatihan dan pendidikan yang berkualitas.

"Program-program yang ada saat ini perlu dievaluasi dan ditingkatkan efektivitasnya. Pelatihan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja akan memberikan masyarakat bekal yang kuat untuk mandiri secara ekonomi," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI