Kamis, 21 Agustus 2025
Beranda / Berita / Aceh / PWI Aceh Ingatkan Bahaya ASN, TNI, Polri dan Honorer Jadi Wartawan

PWI Aceh Ingatkan Bahaya ASN, TNI, Polri dan Honorer Jadi Wartawan

Kamis, 21 Agustus 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Aceh, Nasir Nurdin. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Aceh, Nasir Nurdin, mengingatkan seriusnya ancaman terhadap independensi pers akibat maraknya praktik rangkap jabatan wartawan dengan status tenaga honorer di instansi pemerintahan. 

Menurutnya, meski secara aturan organisasi belum ada larangan eksplisit bagi tenaga honorer, namun dari sisi etik, hal ini berpotensi menciptakan konflik kepentingan yang sulit dihindarkan.

“Wartawan itu harus bebas dari intervensi. Kalau dia masih berada dalam struktur birokrasi, meskipun statusnya hanya honorer, secara otomatis ia berada di bawah kendali atasan. Situasi seperti ini jelas bisa memengaruhi kebebasan berpikir dan menulisnya,” tegas Nasir.

Nasir menjelaskan, PWI sejak lama telah mengatur tegas larangan rangkap profesi wartawan dengan aparatur sipil negara (ASN), pegawai negeri sipil (PNS), maupun anggota TNI/Polri. 

Aturan itu termaktub dalam PD/PRT PWI Pasal 9 Ayat (3) serta Pasal 3 Ayat 2 Butir (d) dan Ayat 6 Butir (d), yang mensyaratkan calon anggota menyatakan tidak berstatus ASN atau aparat negara.

“Kalau ada anggota PWI yang terbukti ASN, keanggotaannya harus dicabut. Itu keputusan organisasi yang final. Tetapi memang, untuk tenaga honorer yang belum ASN atau PNS, PD/PRT PWI tidak menyebutkan larangan. Namun sekali lagi, persoalan ini bukan sekadar aturan formal, tapi menyangkut etika profesi,” ujarnya.

Nasir juga mengingatkan bahwa ASN hanya boleh menjalankan profesi wartawan di tiga lembaga resmi milik negara, yakni RRI, TVRI, dan Kantor Berita Antara. Di luar itu, praktik tersebut jelas melanggar aturan organisasi sekaligus mencederai kode etik jurnalistik.

Fenomena rangkap jabatan ini disebut Nasir masih marak di sejumlah daerah di Aceh. Ia menyoroti kondisi di Aceh Utara dan Bireuen, di mana sejumlah ASN maupun honorer masih menjalankan aktivitas jurnalistik.

“Bahkan ada kasus di mana seorang staf dinas mewawancarai atasannya sendiri untuk kepentingan berita. Ini jelas tidak sehat, melanggar etika, dan bisa menciptakan ruang penyalahgunaan,” kata Nasir.

Kasus terbaru terjadi di Kabupaten Bireuen. Seorang ASN berinisial AR, yang bertugas di Dinas Kesehatan, ditarik dari jabatannya setelah ketahuan aktif sebagai wartawan tanpa izin resmi dari pejabat pembina kepegawaian. 

Kepala Dinas Kesehatan Bireuen, dr. Irwan, menegaskan bahwa tindakan tersebut melanggar PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, yang secara jelas melarang pekerjaan lain yang menimbulkan konflik kepentingan.

Nasir menekankan, inti persoalan rangkap jabatan ini adalah soal independensi. Wartawan yang bekerja di lembaga pemerintah akan sulit bersikap kritis terhadap instansinya sendiri.

“Bagaimana mungkin seorang wartawan bisa menulis berita kritis tentang instansi tempat dia menerima gaji? Itu konflik kepentingan yang nyata. Dan jika hal ini dibiarkan, publik akan meragukan independensi pers,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan, profesi wartawan menuntut dedikasi penuh. Anggota PWI harus bekerja penuh di media dan menggantungkan hidup dari karya jurnalistik, bukan dari pekerjaan lain di luar dunia pers. 

"Pengecualian hanya untuk lembaga yang terkait langsung dengan kepentingan publik dan pers, seperti Dewan Pers, KPI, atau KIP,” tambahnya.

Menanggapi maraknya fenomena ini, PWI di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota lebih proaktif melakukan penelusuran dan verifikasi.

“Kalau ada laporan atau temuan anggota yang merangkap status, PWI harus segera melakukan klarifikasi. Kita harus memastikan apakah ketika mendaftar dulu, yang bersangkutan memang sudah menandatangani pernyataan tidak berstatus ASN/PNS,” katanya.

Nasir juga mengajak seluruh insan pers di Aceh menjaga marwah profesi dengan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Menurutnya, wartawan sejati bukan sekadar pemegang kartu pers, tetapi mereka yang mengabdikan diri sepenuhnya pada kerja jurnalistik.

“Pers itu mitra kritis pemerintah, bukan bagian dari birokrasi. Jika profesi wartawan terus dicemari oleh praktik rangkap jabatan, maka yang dirugikan bukan hanya organisasi pers, tapi juga publik yang berhak mendapatkan informasi yang jernih, independen, dan bisa dipercaya,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI