Qanun Jinayah diminta harus di Revisi karena kerap tidak berpihak kepada Korban Kekerasan Seksual
Font: Ukuran: - +
Reporter : hakim
Azriana Manalu [Dok. Hakim]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penerapan Qanun Jinayah atau Hukum Pidana yang merupakan bagian dari Syariat Islam dalam kasus pemerkosaan terhadap anak di Aceh, kembali menjadi sorotan. Qanun jinayah diminta untuk direvisi karena kerap tidak berpihak kepada korban kekerasan seksual.
Vonis bebas yang ditetapkan Mahkamah Syar’iyah Aceh yang sebelumnya divonis 200 bulan penjara terhadap DP (35) pelaku pemerkosaan terhadap anak di Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, baru-baru ini dikecam luas. Azriana Manalu, Tim ahli Balai Syura adalah salah seorang yang mengkritisi putusan yang didasarkan atas aturan jarimah dalam Qanun atau Hukum itu.
“Selagi pemerkosaan dan pelecehan seksual masih ada di dalam qanun jinayah, putusan seperti ini berpotensi terulang kembali. (Putusan itu) memperlihatkan bagaimana hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh yang memeriksa berkas ini tidak terlalu memahami hukum acara pidana,” kata Mantan Ketua Komnas Perempuan ini kepada awak media, memalui Konferensi pers di Warkop Albatross, Jalan Tgk Dianjong, Peulanggahan, Kec Kuta Raja, Banda Aceh. Aceh.(27/5).
Perbuatan jarimah (pemerkosaan dan pelecehan seksual) diatur dalam Qanun Aceh No 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Bahkan di dalam Pasal 72 Qanun Aceh perbuatan jarimah sebagaimana diatur dalam qanun dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun yang berlaku adalah aturan jarimah dalam qanun.
Menurut Azriana, penggunaan qanun jinayah dalam kasus pemerkosaan kerap tidak berpihak kepada korban, seperti yang dialami K. Pemerintah Aceh pun diminta untuk merevisi qanun jinayah dengan mencabut pasal tentang jarimah.
“Sudah saatnya gubernur dan DPR Aceh merevisi qanun jinayah dengan mencabut pasal tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual. Karena hanya dua ini kekerasan seksual yang di dalam qanun jinayah. Dalam daftar jarimah yang dilarang di dalam qanun jinayah itu hanya dua ini yang kekerasan (seksual). Lainnya itu bukan kekerasan seksual,” ujarnya.
Perbuatan pemerkosaan dan pelecehan seksual yang ada di dalam qanun jinayah sudah seharusnya dikembalikan kepada proses hukum peradilan pidana, dan diselesaikan oleh pengadilan yang memiliki kompetensi untuk mengadili perkara pidana.
“Supaya kita bisa hentikan proses peradilan yang itu merugikan korban dan mengimpunitas pelaku kekerasan seksual,” ucapnya.