DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ratusan warga dari berbagai wilayah di Aceh datang untuk berziarah ke kompleks Situs Cagar Budaya Makam Syiah Kuala, Gampong Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Minggu (14/9/2025).
Di makam ulama besar abad ke-17 itu. Mereka melaksanakan kenduri hajat, berzikir, hingga berdoa memohon berkah di tempat yang dipercaya sebagai salah satu pusat spiritual masyarakat Aceh.
Di antara keramaian itu, Abdul Wahid, sang khadam atau penjaga makam, tampak sibuk menyambut para tamu yang datang. Dengan ramah ia mengatur jalannya acara kenduri, memastikan kebersihan area makam, sekaligus memberi penjelasan singkat kepada pengunjung tentang siapa sebenarnya Syekh Abdurrauf As-Singkili atau lebih dikenal sebagai Syiah Kuala.
“Jumlah pengunjung meningkat signifikan setiap hari libur. Mahasiswa, pelajar, bahkan rombongan keluarga datang silih berganti. Ada yang baru pertama kali, ada juga yang rutin ke sini setiap tahun,” ujar Abdul Wahid saat ditemui di sela aktivitasnya kepada media dialeksis.com.
Menurutnya, keberadaan peziarah dari kalangan mahasiswa sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan, ada tradisi tidak tertulis bahwa mahasiswa baru maupun mahasiswa yang dilepas saat wisuda datang berziarah ke makam ini.
“Sudah sejak lama, mahasiswa dari berbagai kampus selalu menyempatkan diri ke sini, baik saat awal perkuliahan maupun setelah selesai studi. Itu bagian dari mengenalkan sejarah ulama besar Aceh,” jelasnya.
Namun di balik keramaian pengunjung, Abdul Wahid menyayangkan kondisi pelestarian situs makam yang menurutnya belum mendapatkan perhatian maksimal dari pemerintah daerah.
“Setelah tsunami 2004, perhatian dari pemerintah terhadap situs ini sangat minim. Sampai sekarang, biaya perawatan sepenuhnya berasal dari sumbangan para peziarah,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa makam Syiah Kuala seharusnya menjadi prioritas dalam upaya pelestarian sejarah dan budaya Aceh. Selain sebagai ulama besar yang menjadi rujukan dunia Islam kala itu, Syiah Kuala juga dikenal sebagai sahabat para guru sufi internasional yang menularkan keilmuan ke Tanah Rencong.
“Kalau tidak dilestarikan, generasi muda bisa kehilangan jejak sejarah penting ini. Pemerintah seharusnya lebih serius memberi perhatian, baik dari sisi infrastruktur, fasilitas umum, maupun pengelolaan pengunjung,” katanya dengan nada harap.
Selama 13 tahun menjadi penjaga makam, Abdul Wahid mengaku seluruh biaya operasional, mulai dari kebersihan hingga perbaikan fasilitas sederhana, hanya bergantung pada bantuan sukarela.
“Kami tidak pernah meminta. Tapi kalau ada yang ikhlas membantu, baik pemerintah maupun dermawan, kami terima dengan tangan terbuka. Semua yang kami lakukan semata-mata untuk menjaga sejarah dan melayani peziarah,” ujarnya.
Ia juga menuturkan, beberapa fasilitas penunjang yang ada saat ini sudah tidak layak. Misalnya ruang tempat singgah peziarah yang mulai rapuh dan fasilitas umum yang terbatas.
“Kalau ada kenduri atau acara zikir besar, terasa sekali kekurangan fasilitas. Padahal, ini situs bersejarah yang setiap minggunya tidak pernah sepi pengunjung. Mudah-mudahan ke depan pemerintah lebih peduli. Kalau pun tidak, kami akan tetap menjaga makam ini dengan segala kemampuan. Karena ini bukan hanya warisan sejarah Aceh, tapi juga lambang peradaban Islam yang perlu dilestarikan bersama,” pungkasnya. [nh]