Rapor Merah Pemerintah Aceh, MOSI Tidak Percaya Rezim Nova Iriansyah
Font: Ukuran: - +
Konferensi Pers Rapor Merah Pemerintah Aceh Hebat MOSI TIDAK PERCAYA REZIM NOVA IRIANSYAH. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Tahun 2017 adalah merupakan tahun yang sangat beraroma politis bagi stabilitas politik di Aceh. Dikarenakan Pemerintah Aceh kala itu baru saja mengalami dua kali rotasi pucuk pimpinan sejak dilantik memenangi pilkada Aceh, dari Irwandi Yusuf Beralih kepada Nova Iriansyah. Pasca Irwandi tertangkap OTT Oleh KPK RI, Nova didapuk sebagai penggantinya menjabat sebagai Gubernur Aceh sampai saat ini. Berawal dari situ, Awalnya Publik Aceh dihebohkan dengan adanya temuan kasus besar dengan judul skandal menjadi sangat popular diruang publik Aceh “BEGAL BEASISWA MAHASISWA ACEH” yang tersalurkan mencapai 19.854.000.000 kepada 803 mahasiswa yang bersumber dari APBA 2017 berdasarkan temuan Inspektorat Aceh kemudian dilaporkan kepada gubernur Irwandi Yusuf.
Dari rilis yang diperoleh Dialeksis.com, Minggu (29/08/2021), Berdasarkan hasil audit yang telah dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh dari bukti-bukti yang dimiliki itu (kerugian) Negera lebih dari Rp10 miliar, dari anggaran Rp21 miliar lebih Berdasarkan Keterangan BPKP Perwakilan Aceh. Adapun Pemerintah Aceh pada 2017 mengalokasikan anggaran berjumlah Rp. 21,7 miliar lebih untuk beasiswa mahasiswa program studi mulai diploma tiga hingga doktoral atau S3. Anggaran beasiswa itu ditempatkan di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSMD) Aceh. Beasiswa tersebut disalurkan kepada 803 penerima dengan realisasi mencapai Rp19,8 miliar lebih. Dalam kasus ini, hasil temuan Inspektorat Aceh menyebutkan bahwa beasiswa tersebut berasal dari usulan 24 anggota DPR Aceh. Jumlah penerima mencapai 938 mahasiswa, terdiri 825 penerima usulan Anggota DPR Aceh dan 86 orang permohonan secara mandiri.
KASUS KORUPSI SAPI
Pada tahun 2017, Pemerintah Aceh mengucurkan dana RP 3,4 MILIAR untuk proyek PENGADAAN SAPI di UPTD Saree, Aceh Besar. Anggaran tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2017. Setelah melakukan penyidikan selama setahun, Kepolisian Daerah Aceh menetapkan sembilan tersangka dalam kasus pengadaan, penggemukan, dan pembenihan sapi di Unit Pelaksana Teknis Daerah Inseminasi Buatan dan Inkubator (UPTD-IBI) Saree, Kabupaten Aceh Besar. Program ini berada di bawah Dinas Peternakan Aceh. Penetapan tersangka diumumkan oleh Direktur Kriminal Khusus Polda Aceh Komisaris Besar Sony Sonjaya, Rabu (18/8/2021). Para tersangka adalah ZA, SS, AK, DW, AH, IPS, dan HA. Mereka adalah aparatur sipil negera. Sedangkan dua tersangka lain adalah rekanan/swasta yakni KW dan SY. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Wilayah Aceh, menemukan kerugian negara mencapai Rp 1,2 miliar.
Kemudian, Pada tahun 2018, Nova sudah ditetapkan sebagai Gubernur definitif Provinsi Aceh dan mulai menjalankan berbagai terobosan realisasi program pemerintahan Aceh dengan tag line “ACEH HEBAT”. Bahkan sampai pada pengadaan 3 Unit kapal Aceh untuk keperluan peningkatan jalur transportasi laut di Aceh pun dinamai dengan sebutan “KAPAL ACEH HEBAT 1,2,3”. Ironisnya juga kapal tersebut sempat terhembus isu kuat dugaan beraroma “rasuah”, Namun sampai hari ini belum ada kejelasan kepastian RESMI-nya yang terpublis. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus mengumpulkan sejumlah bukti adanya dugaan korupsi dalam pembelian Kapal Roro Aceh Hebat. Seperti yang disampaikan, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyebut lembaganya memang tengah melakukan penyelidikan kasus itu Namun, ia belum dapat menyampaikan secara detail kasus tersebut.
Selain itu, KPK juga sedang melirik pembangunan Gedung Oncology Center RSUDZA dengan skema kontrak multiyears, Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah meminta keterangan mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh Azharuddin terkait proyek multiyears (tahun jamak) Aceh. Jumat (25/6/2021), Proses permintaan keterangan tersebut berlangsung di lantai tiga Gedung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh, seperti yang terpublis dimedia Beberapa waktu lalu.
Disamping itu, Berdasarkan hasil analisis yang kami lakukan berdasarkan informasi yang terkuat ke publik, 23 Juni 2021 bahwa KPK juga sedang melirik beberapa kasus, seperti perihal pembangunan Jalan dengan skema Multi Years Contra, bantuan hibah dan bansos, serta anggaran refocusing masa pandemic. Dua hari kemudian, Ketua KPK juga menyampaikan bahwa pihaknya, telah menangani14 kasus tindak pidana korupsi di Provinsi Aceh dengan berbagai modus, saat mengisi kuliah umum di Universitas Syiah Kuala (USK) di Banda Aceh pada Kamis, (25/3/2021) Lalu.
Namun pada kenyataannya hari ini, Jika kita sedikit mereview sebelumnya. Publik Aceh sempat dihebohkan dengan Batalnya pembangunan 1.100 unit RUMAH DUAFA di Aceh tahun 2019, mendapat sorotan dari banyak pihak. Bantuan rumah untuk fakir miskin yang ditargetkan rampung pada 2019 itu harus dibatalkan lantaran alasan keterbatasan waktu. Padahal dalam Qanun RPJM Aceh Nomor 1 Tahun 2019 jelas tersebut Pemerintah Aceh akan membangun Rumah Dhuafa sebanyak
30.000 unit periode 2018-2022, setiap tahun dibangun 6.000 unit. Kinerja Pemerintah Aceh sampai tahun ke-tiga (2018-2020) masih nol unit. seharusnya sudah terbangun 18.000 unit. Kenyataannya, baru tahun 2021 ini direncanakan sejumlah 780 unit. Kesimpulannya, QANUN RPJM hanya sebatas dokumen untuk paparan materi seminar saja di ruang-ruang birokrasi.
Sementara itu dipihak lain mencuat ke publik dengan terpublis PEMBELIAN MOBIL DINAS BARU sebanyak 72 unit yang tersebar di 33 Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Anggaran pembelian mobil mencapai RP 100 MILIAR lebih Mayoritas Menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) TA. 2019 terjadi ditahun yang sama. Cara pemerintah aceh dengan memprioritaskan pengadaan mobil baru yang sebagian besar diusulkan dalam APBA-P versus penundaan pembangunan rumah duafa, sungguh kebijakan yang tidak pro rakyat dan masyarakat miskin. Belum lagi, adanya pos anggaran dalam bentuk Hibah Pemerintah Aceh ke Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh. Dimana pengusulan anggaran untuk lembaga itu diduga bersumber dari APBA perubahan 2019 sebesar RP 2.854 MILIAR lebih.
Setelah itu dilanjutkan dengan beberapa kelucuan lainnya yang dipamerkan oleh pemerintah Aceh tahun 2021 ini, dihadapan publik dengan beredarnya Pengadaan barang dan jasa pada RUMAH jabatan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh dengan harga lebih Rp 1 miliar. Pekan terakhir juli 2021 lalu, dianjutkan dengan bermunculan BELANJA HURA-HURA SALAH SATU SKPA PEMERINTAH ACEH yang berencanakan pembelian HP/Android mencapai 81 juta lebih. Anehnya hal itu terjadi ditengah kondisi Aceh masih dalam pademi covid-19.
Melirik, Sampel data Tahun 2019 lalu, Total APBA Sebanyak Rp. 17 Triliun & APBK 23 Kab/Kota se Aceh mencapai Rp. 30 Triliun. Total Keseluruhan mencapai sekitar Rp. 47 T anggaran mengalir ke Aceh (belum termasuk anggaran berbagai Lembaga Vertikal yg bersumber dari APBN). Namun, Angka Kemiskinan Aceh per September 2020 mencapai 15,43 persen & sbg provinsi TERMISKIN se- Sumatera serta ke-enam termiskin se-Indonesia.
Pemerintah Aceh, patut bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut karena 15,43 persen data BPS akumulasi dari angka kemiskinan di Provinsi Aceh Masih Bertahan Pada Urutan tersebut.
Padahal, Jika merujuk dari apa yang pernah disampaikan KETUA KPK, Aceh sebagai daerah otonomi khusus mendapatkan dana otonomi khusus setiap tahun. Sejak tahun 2008 hingga tahun 2020, Aceh memperoleh dana otonomi khusus berkisar sebesar RP 81 TRILIUN. Namun pada kenyataannya sampai hari ini kondisi Pembangunan Aceh masih sangat memprihatinkan dalam segala bentuk sektor terutama sektor MINIMNYA LAPANGAN KERJA dan PERTUMBUHAN EKONOMI MASYARAKAT MENEGAH KE BAWAH (UMKM).
Dari situ, dapat kita nilai bahwa selama ini menggambarkan mirisnya kondisi Kinerja Pemerintah Aceh terhadap keberlanjutan Pembangunan Aceh pada masa kini dan aan berdampak untuk masa mendatang.
Sehingga, wajar setelah dikutip dari hasil Pansus DPRA mengungkapkan temuan kelebihan bayar belanja pembangunan Aceh tahun 2019 Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh juga telah menerbitkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan Pemerintah Aceh tahun yang sama. Total belanja yang mengalami kelebihan bayar mencapai Rp23 miliar, disebutkan tersebar di 18 satuan kerja perangkat Aceh (SKPA). Dalam laporannya, BPK mengungkap 10 masalah pada pelaksanaan anggaran pembangunan Aceh di sejumlah SKPA. Masalah yang diungkap BPK tersebut terindikasi melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berikut 10 temuan BPK terhadap laporan keuangan Pemerintah Aceh tahun anggaran 2019, yang dirangkum dan dirilis dari sumber beberapa media berdasarkan dokumen LHP BPK Perwakilan Aceh Yaitu:
- Kelebihan pembayaran atas 15 paket pekerjaan pada 6 SKPA mencapai sekitar Rp2. miliar. Kelebihan pembayaran ini di antara terjadi pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Pengairan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan.
- Terjadi Post Bidding dalam proses pengadaan pembangunan jembatan pada Dinas PUPR serta pembayaran 100 persen sebelum pekerjaan selesai dilaksanakan. Post bidding ini terjadi pada proses pengadaan Pekerjaan Pembangunan Jembatan Kilangan di Aceh Singkil oleh Pokja IV. Hasil kegiatan pengadaan tersebut akhirnya menetapkan PT MCA sebagai pemenang, sekaligus menjadi perusahaan pelaksana berdasarkan surat perjanjian nomor 31- AC/BANG/PUPR/APBA/2019 dengan nilai kontrak mencapai Rp42,95 miliar.
- Kelebihan pembayaran gaji dan tunjangan serta tambahan penghasilan PNS yang dikenakan sanksi hukuman disiplin sekitar Rp368,28 juta. BPK, dalam laporannya menyebut, terdapat kelebihan pembayaran gaji dan tunjangan serta tambahan penghasilan terhadap sejumlah pegawai negeri sipil, baik yang diturunkan pangkatnya maupun yang diberhentikan secara tidak hormat.
- Terdapat ketidaksesuaian spesifikasi atas tiga paket pekerjaan di tiga SKPA sebesar Rp294 juta lebih.
- PPh dan PPN atas pembatalan dua pekerjaan TA 2019 sebesar Rp1,91 miliar lebih belum disetor ke kas Pemerintah Aceh.
- Terdapat dua paket pekerjaan pada dua SKPA terlambat dan belum dikenakan sanksi denda keterlambatan, yaitu Dinas Pengairan dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral.
- Pembangunan Jembatan Alur Drien Jalan Lingkar Kota Langsa bersumber dari dana Otsus Aceh terlambat namun pembayaran 100 persen (penuh) dilakukan sebelum pekerjaan selesai. Pekerjaan yang menelan anggaran sebesar Rp8,59 miliar lebih ini dilaksanakan oleh CV FP, berdasarkan ikatan kontrak dengan penyedia pekerjaan yaitu Dinas PUPR Aceh bernomor 43- AC/BANG/PUPR/APBA/2019 tanggal 12 September 2019.
- Hasil pelaksanaan pekerjaan peningkatan jaringan irigasi DI Kuta Tinggi Kabupaten Aceh Tenggara tidak sesuai dengan direncanakan dan hasil pekerjaan buruk karena terdapat kerusakan pada dinding bangunan. Pekerjaan pada Dinas Pengairan Aceh dengan pelaksana CV WHK berdasarkan kontrak KU.602-A/KPA-UPTD.V/131/2019 tanggal 19 Mei 2019 yang nilainya mencapai Rp7,48 miliar lebih.
- Potensi kelebihan pembayaran atas pekerjaan pemeliharaan berkala jalan Cunda Lhokseumawe sebesar Rp585 juta lebih. Pelaksanaan pekerjaan pada Dinas PUPR Aceh ini ini dilakukan oleh PT MGU berdasarkan kontrak nomor 17-AC/PEMEL/PUPR/APBA/2019 dengan nilai kontrak Rp2,86 miliar lebih.
- Terdapat pertanggungjawaban penggunaan dana hibah tidak sesuai ketentuan.
Berdasarkan dari gambaran yang kita paparkan diatas tersebut, dengan adanya temuan pelanggaran hukum dan kerugian keuangan negara membuktikan bahwa lemahnya pemerintah mengontrol pengelolaan keuangan. Semua itu akan dapat terlaksana dengan komitmen kepala daerah. Harapan terbesar pencegahan korupsi ada pada komitmen kepala daerah. Namun, dalam konteks Aceh, gubernur yang diharapkan berada di depan melawan korupsi. Kasus korupsi di Provinsi Aceh terus berulang. Pelakunya mayoritas aparatur sipil negara dan rekanan. Selain karena pengawasan internal yang lemah, rendahnya integritas pengelola anggaran publik memicu korupsi.
Maka Oleh karena demikian, kami dari Kumpulan MAHASISWA DAN PEMUDA ACEH di WILAYAH JABODETABEKA yang beraviliasi diberbagai Lembaga Organisasi Mahasiswa Aceh diantaranya, ALIANSI PEMUDA ACEH JAKARTA (APA-JAKARTA), KMP ACEH DARUSSALAM, Laskar Mahasiswa Pemuda Aceh Barat Daya (LAMPU ABDIYA), (Forum Komunikasi Pemuda Mahasiswa Bireuen) (FORKOPMABIR), MAHASISWA FOBA, NAD MILENIAL INSTITUT, POROS KAMA , GerakanMahasiswa Aceh Nusantara (GEMA-NUSANTARA) dengan ini menyatakan SIKAP MOSI TIDAK PERCAYA KEPADA REZIM PEMERINTAH NOVA IRIASNYAH dengan MEMBERIKAN RAPOR MERAH PEMERINTAHAN ACEH HEBAT. (*)