kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Rawat Damai Aceh dengan Kesejahteraan yang Berkeadilan

Rawat Damai Aceh dengan Kesejahteraan yang Berkeadilan

Selasa, 16 Agustus 2022 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Usia perdamaian Aceh kini telah mencapai 17 tahun dan banyak pihak termasuk Komnas HAM Perwakilan Aceh memberikan catatan penting bagi pemangku kewajiban baik Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Pusat. 

Komnas HAM Perwakilan Aceh memperhatikan sejumlah kebijakan dan kewenangan yang bersifat afirmatif atau khusus yang hanya dimiliki oleh Aceh, namun dalam prakteknya belum sepenuhnya mampu diimplementasikan secara komprehensif oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat.

Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama berdasarkan siaran persnya yang diterima Dialeksis.com, Selasa (16/8/2022).

Ia mengatakan, saat ini terdapat sejumlah perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang belum ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat. 

"Salah satunya terkait penyerahan kewenangan di bidang pertanahan meskipun pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh Kabupaten/Kota," sebutnya dalam saiaran persnya.

Lanjutnya, Damai Aceh juga harus diikuti dengan pemerataan tingkat kesejahteraan masyarakat di berbagai bidang untuk menghindari terjadinya disparitas dan kesenjangan sosial ekonomi masyarakat Aceh. Peningkatan kemampuan dalam mengelola setiap potensi dan sumber daya di Aceh dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan yang berkeadilan perlu menjadi perhatian utama.  

Dalam konteks keadilan transisi, katanya, Pemerintah Pusat dan DPR RI harus segera menerbitkan undang-undang KKR ditingkat nasional sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam mendorong proses penyelesaian atas peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Aceh melalui pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi (non yudisial). Keberadaan Qanun KKR Aceh tidak efektif dijalankan karena tidak adanya instrumen hukum nasional (UU KKR) sebagai payung hukumnya.

Kemudian, Dia menjelaskan, terkait dengan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui mekanisme yudisial, dari lima kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki secara projustisia di Aceh, tiga diantaranya telah diserahkan Komnas HAM RI ke Jaksa Agung untuk kemudian dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai amanat UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 

"Adapun tiga kasus peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diserahkan ke Jaksa Agung tersebut yakni kasus peristiwa Simpang KKA Aceh Utara, peristiwa Rumoh Geudong di Kabupaten Pidie, dan peristiwa Jambo Keupok di Kabupaten Aceh Selatan.," ungkapnya.

Komnas HAM menyadari pentingnya mensinergikan penuntasan penyelesaian seluruh kasus pelanggaran HAM berat di Aceh baik melalui proses hukum dan mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi melalui KKR sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Pasal 229 ayat (1 dan 2) UUPA. 

"Kedua mekanisme penyelesaian tersebut saling melengkapi dimana keterlibatan KKR penting karena tidak semua kasus diproses melalui pengadilan, melainkan juga ada pengungkapan kebenaran yang diakhiri dengan rekonsiliasi," sebutnya.

Bertepatan dengan peringatan 17 tahun damai Aceh, Komnas HAM Perwakilan Aceh mengajak Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, Legislatif Aceh dan seluruh stakeholder untuk berkontemplasi dan bersatu membangun Aceh dengan memaksimalkan kebijakan dan kewenangan khusus yang dimiliki oleh Aceh dengan memprioritaskan pembangunan agar masyarakat Aceh lebih mudah mengakses hak-hak dasar, jaminan kesehatan yang lebih baik, jaminan pendidikan bagi seluruh generasi Aceh, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat secara menyeluruh dan merata. 

"Pemerintah Aceh dan DPRA harus fokus menyusun kebijakan (policy) dan Qanun-Qanun Aceh yang spesifik untuk mendukung prioritas pembangunan di atas. Kewenangan dan kebijakan yang khusus dimiliki Aceh harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan yang berkeadilan dan menghasilkan aturan-aturan yang sejalan dengan prinsip-prinsip HAM dan tidak diskriminatif," pungkasnya. []

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda