DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pencegahan HIV/AIDS di Aceh tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama, norma sosial, dan budaya lokal yang hidup di tengah masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Agus Agandi, relawan Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Aceh, saat dimintai tanggapannya oleh media dialeksis.com, Minggu, 21 September 2025 mengenai langkah-langkah efektif dalam menghadapi persoalan HIV/AIDS di Tanah Rencong.
Menurut data Dinas Kesehatan Aceh, sejak 2004 hingga Juli 2025 tercatat 1.974 kasus HIV. Angka ini, kata Agus, menjadi peringatan serius bahwa pencegahan tidak cukup hanya dengan pendekatan medis, melainkan juga harus merangkul aspek keagamaan dan budaya agar pesan mudah diterima masyarakat.
“Kalau boleh berpendapat sedikit mengenai HIV/AIDS, pencegahan di Aceh tentu perlu memperhatikan nilai-nilai agama, norma sosial, dan budaya setempat supaya efektif dan mudah diterima masyarakat,” ujar Agus.
Agus menekankan pentingnya edukasi tentang HIV/AIDS yang dikemas dalam pendekatan agama. Menurutnya, khutbah Jumat, pengajian, dan ceramah-ceramah bisa menjadi medium efektif untuk menyampaikan pesan kesehatan.
Namun ia mengingatkan bahwa ceramah tidak perlu diarahkan hanya kepada kelompok tertentu, melainkan kepada seluruh jamaah dengan pesan moral yang menekankan nilai iffah (menjaga kehormatan diri) dan amanah dalam rumah tangga.
“Pesan agama bisa mengetuk hati masyarakat. Ceramah jangan diarahkan seolah-olah hanya untuk pelaku seks bebas, tapi lebih pada pengingat tentang risiko dunia dan akhirat. Karena pelakunya sebenarnya beredar di antara kita semua,” jelas Agus.
Selain itu, ia menekankan bahwa pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan melalui perilaku sehat, seperti abstinensi (tidak berhubungan seks sebelum menikah), kesetiaan dalam pernikahan, serta menghindari narkoba suntik.
“Kalau hasrat sudah tidak bisa ditahan, maka gunakan kondom. Kesetiaan dalam rumah tangga itu bukan hanya ibadah, tapi juga perlindungan diri dari penyakit,” ujar Agus.
Menurut Agus, keluarga adalah garda terdepan dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Orang tua, kata dia, harus mendidik anak sejak dini dengan pendekatan nilai agama, sekaligus menjadi teladan dalam kehidupan rumah tangga.
“Anak-anak perlu mendapat edukasi sejak dini. Keluarga jangan lepas tangan. Begitu juga masyarakat desa, perangkat gampong, ulama, dan tokoh adat harus aktif mengawasi dan memberi contoh baik,” katanya.
Agus juga mendorong adanya pemeriksaan kesehatan pra-nikah, termasuk skrining HIV, untuk mencegah penularan dalam rumah tangga. Ia menilai program rehabilitasi bagi pengguna narkoba suntik juga harus dipadukan dengan pendekatan keagamaan.
“Pemeriksaan pra-nikah itu penting. Begitu juga rehabilitasi, jangan hanya medis, tapi harus ada penguatan iman dan tobat,” ucapnya.
Tak kalah penting, Agus menekankan bahwa orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap manusia yang memiliki martabat. Ia mengajak masyarakat Aceh untuk mengurangi stigma dan diskriminasi.
“Islam mengajarkan kasih sayang. ODHA bukan untuk dihakimi, tapi didukung agar tetap punya harapan hidup. Kita harus menumbuhkan empati, bukan menambah luka dengan diskriminasi,” ujarnya.
Agus mengatakan bahwa pencegahan HIV/AIDS di Aceh bisa berhasil jika ilmu kesehatan modern dipadukan dengan nilai-nilai Islam. Pendekatan dakwah, keluarga, komunitas, dan kebijakan berbasis syariat menurutnya akan menjadi kunci efektivitas.
“Pencegahan HIV di negeri bersyariat bisa efektif jika memadukan ilmu kesehatan dengan nilai Islam. Kita punya modal agama, budaya, dan komunitas yang kuat. Tinggal bagaimana semua pihak bergandengan tangan,” pungkas Agus.