DIALEKSIS.COM | Aceh - Provinsi Aceh, yang selama ini lekat dengan nilai-nilai keagamaan dan adat istiadat, diguncang oleh tiga kasus pembunuhan tragis dalam rentang waktu singkat. Tiga nyawa melayang, tiga keluarga dirundung duka, dan publik bertanya-tanya: apa yang sedang terjadi di balik pintu rumah, di antara relasi sosial yang semakin tegang?
Dimulai di pembukan tahun 2025 kejadian pada Selasa, 18 Februari 2025, Kepolisian Resor Kota Banda Aceh menyerahkan tersangka kasus pembunuhan mahasiswa, ZF (19), ke Kejaksaan Negeri Banda Aceh. Korban, Dhiaul Fuadi (20), mahasiswa asal Aceh Barat, ditemukan tewas pada Oktober 2024 di kawasan Gampong Jeulingke, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Tubuh Dhiaul penuh luka tusukan, yang mengakhiri hidupnya secara tragis.
ZF, pemuda asal Kabupaten Bireuen, dan Dhiaul tercatat sempat terlibat cekcok sebelum sang mahasiswa tewas. Diduga, ketegangan yang berujung kekerasan itu muncul dari perselisihan pribadi namun detail motif sebenarnya masih didalami penyidik. Penanganan kasus ini mencerminkan bahwa di tengah pergaulan mahasiswa, permasalahan emosional dan komunikasi belum terkelola dengan baik.
Selanjutnya insiden pembunuhan kedua di Kabupaten Pidie Jaya, dimana istri dibunuh karena siaran langsung TikTok. Seorang perempuan berinisial H (43) tewas di tangan suaminya sendiri, S (54), setelah pertengkaran hebat akibat kebiasaan H melakukan siaran langsung (live) di TikTok. Peristiwa nahas itu berlangsung pada Rabu, 28 Mei 2025, dini hari, di kediaman mereka di Desa Kuta Krueng, Kecamatan Bandar Dua.
Bentrokan emosi memuncak ketika S menuduh H terlalu asyik berinteraksi dengan penonton maya. Dalam kondisi emosi tak terkendali, S mengambil sarung lalu melilit leher istrinya hingga tewas seketika. Kepolisian mengungkapkan bahwa kecemburuan, ditambah konflik rumah tangga yang tak terselesaikan, menjadi pemicu utama tragedi ini. Apalagi, akses teknologi yang mudah terkadang memunculkan ketegangan baru dalam relasi suami istri, di mana batas ‘privacy’dan hiburan kerap kabur.
Kasus ketiga menimpa seorang guru Sekolah Dasar, NA (31), yang ditemukan tewas di area perkebunan PT Nafasindo, Kecamatan Kota Baharu, Aceh Singkil, pada awal Juni 2025. Tim Inafis Satreskrim Polres Aceh Singkil, bersama dokter dari RSUD Aceh Singkil, mencatat ada delapan luka tusuk di dada dan perut, serta tiga luka lebam di tubuh korban. Indikasi kekerasan fisik yang intens sebelum kematian membuat dugaan kuat mengarah pada suami korban, ES (34), sebagai pelaku.
Hingga saat ini, aparat kepolisian masih mengumpulkan keterangan saksi dan bukti forensik untuk memastikan kronologi secara utuh. Kasus ini sekaligus menegaskan kerentanan perempuan, termasuk yang berstatus “pendidik”, terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang sering terselubung di balik kesan harmonis.
Untuk menyikapi rentetan kasus ini, Firdaus Mirza Nusuary, M.A., dosen sosiologi Universitas Syiah Kuala, memandang ketiganya sebagai sinyal adanya kerapuhan dalam jaringan sosial Aceh.
Ia menekankan ada tiga point hasil pencermatan terhadap tiga kejadian pembunuhan di awal tahun 2025.
Ados sapaan akrab Firdaus Mirza menyoroti terkait penyebab kesenjangan antara simbolisme dan kenyataan,“Aceh dikenal ketat dalam penerapan nilai agama dan adat. Namun, ketika kasus kekerasan muncul di ruang domestik, kita melihat jauh lebih dari sekadar pelanggaran hukum. Ini cerminan kegagalan kita membangun kedewasaan emosional dalam interaksi sosial,” kata Firdaus Mirza, Jumat, 6 Juni 2025.
Penyebab lain menurutnya terjadi karena dampak pasca pandemi dan transformasi digital. Maksud Ados,”Tekanan sosial dan ekonomi pasca-pandemi, dikombinasikan dengan perubahan gaya hidup yang semakin digital, bisa memunculkan konflik baru di rumah tangga dan komunitas,” lanjutnya.
Masih menurut Ados, ketika teknologi mencabut batas privasi misalnya melalui siaran langsung remote konflik internal keluarga mudah terpapar ke ranah publik dan menjadi pemicu kekerasan.
Faktor penyebab lainnya menurut mantan aktivis ini disebabkan relasi kuasa yang tidak sehat. Ia lanjut menerangkan,“Dalam banyak kasus, relasi suami“istri dan antar teman di Aceh masih didominasi pemahaman relasi patriarkal. Akibatnya, ketegangan kecil dapat berubah menjadi isu kekuasaan, bahkan kekerasan ekstrem,” ujar Firdaus Mirza. Ia menyerukan agar program pendidikan sosial berbasis nilai benar-benar menyentuh ranah praktik, bukan sekadar formalitas religius.
Lebih jauh, ia menekankan perlunya “pendekatan holistik” dalam membangun kembali relasi sosial meliputi keluarga, pendidikan, hingga komunitas agar nilai-nilai keberagamaan dan kekerabatan tak hanya berhenti pada simbol, tetapi diinternalisasi dalam keseharian.
Rentetan pembunuhan di Aceh di awal tahun 2025 menurut Firdaus Mirza hingga pertengahan tahun ini menjadi alarm serius. Masyarakat yang tampak religius dan konservatif masih menyimpan retakan dalam relasi sosial dan kemampuan mengelola konflik. Tiga kasus ini adalah bentuk paling tragis dari kegagalan komunikasi, cakupan nilai, serta solidaritas sosial.
“Aparat hukum kepolisian dan kejaksaan telah berjalan sesuai prosedur. Namun, pekerjaan utama justru terletak pada perubahan struktural dan kultural,” ujarnya.
Dari ranah pemikiran psikologi, Dra Nur Janah Alsharafi, Psikolog, MM, selaku Direktur Psikodista Konsultan, menyoroti belum optimalnya pelayanan kesehatan mental.
Dalam wawancara terpisah dilakukan Dialeksis, ia menjelaskan; pemicu dari tiga kejadian pembunuhan tersebut, salah satunya karena ketidakmampuan mengelola emosi sejak awal.
“Dalam kasus pembunuhan akibat siaran TikTok, pelaku tidak mampu mengelola rasa kecemburuan dan ketidaknyamanan dalam relasi. Ini merupakan sinyal problema psikologis tidak tertangani sejak jauh hari,” terang Nur janah. Kurangnya akses terhadap layanan kesehatan mental dan psikologis membuat banyak individu menahan beban emosional sendirian.
Hal lain menurut Nur Janah jadi pemicu adalah masih banyaknya masyarakat yang memilih diam, hingga tekanan emosi menumpuk dan akhirnya meledak,” imbuhnya.
Ia menegaskan bahwa kekerasan ekstrem kerap menjadi pelampiasan terakhir ketika seseorang merasa tak punya ventilasi darurat berupa tempat bercerita atau curhat.
Nur Janah menyarankan agar pemerintah daerah menempatkan minimal satu konselor di setiap kecamatan, serta mengadakan pelatihan konseling psikologis bagi guru, tokoh masyarakat, dan penyuluh agama agar lebih peka terhadap problema dan gangguan psikologis.
“Edukasi publik soal pentingnya kesehatan mental harus dijadikan prioritas. Seperti halnya layanan kesehatan fisik, dukungan psikologis juga perlu diakses oleh semua lapisan masyarakat,” katanya.
Tawaran ide solusi dari Nur Janah agar memberdayakan ibu PKK sebagai konselor keluarga, pembentukan pusat konseling keluarga di kecamatan dan sekolah, serta pelibatan tokoh adat/ulama untuk membuka ruang dialog tentang kesehatan mental/psikis.
Selain itu Nur Janah juga mengemukakan pentingnya muatan character building termasuk akhlaqul karimah dalam kurikulum formal mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam kurikulum tersebut juga dimuat materi peningkatan kecerdasan emosi dan ketrampilan mengelola emosi dan konflik secara matang dan tanpa kekerasan.
"Sinergitas antara keluarga, sekolah, dunia usaha, masyarakat dan pemerintah menjadi dimensi kekuatan dalam membangun anak bangsa yang berkarakter positif dan agamis. Sinergi ini diujudkan dalam bentuk program yang sifatnya preventif, promotif maupun kuratif.," pungkas psikolog ternama nasional ini.