Revisi UUPA, Sosiolog Aceh: Tak Ada Garansi Aceh Jadi Lebih Baik!
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Sosiolog Aceh, Dr Otto Syamsuddin Ishak. [Foto: Istimewa]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Revisi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang kini tengah menjadi perbincangan oleh masyarakat Aceh menjadi sebuah topik hangat di segala sudut wilayah di Provinsi Aceh.
Banyak yang mengatakan dengan merevisi UUPA akan membuat arah Aceh menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Beberapa pasal yang dianggap krusial agar kiranya harus segera direvisi.
Sosiolog Aceh, Dr Otto Syamsuddin Ishak saat diwawancarai oleh Dialeksis.com, Senin (28/2/2022) mengatakan, sejauh ini belum ada yang membuat daftar isian masalah (DIM) tentang UUPA.
“Kalau kita melihat pada list usulan revisi UUPA dari YARA belum ada prioritas mana yang paling urgent, yang ada pertimbangan normatif,” katanya.
Kemudian, Dirinya mengatakan, bahkan ada yang berkata tentang persoalan kemiskinan. Menurutnya, hal tersebut merupakan kesalahan manajemen pembangunan para rezim Gubernur Aceh pasca MoU, bukan merupakan kesalahan UUPA.
“Bahkan juga ada yang bilang soal rekomendasi calon Kapolda dengan membenturkan antara UUPA dengan UU Polri, lalu juga mengatakan apa artinya bila Kapolri tidak open,” ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut bukanlah sebuah kelemahan UUPA, melainkan persoalan Diplomasi atau Koordinasi atau Respek (Saling hormat) antar pimpinan Aceh dan Polri.
“Saya kira itu tidak dewasa, kalau berpikir membenturkan dengan UU,” tambahnya.
Sejauh ini, Kata Dr Otto, tidak ada evaluasi tentang; Pertama, mana pasal yang berjalan dengan baik dan mana pasal yang terhambat atau mengalami kendala (Macet).
“Kedua, jika pun ada yang macet, kenapa? Apa berbenturan dengan UU atau peraturan lainnya, atau karena Qanun nya belum ada ataupun ada Qanun nya, namun tidak beroperasional dengan baik,” ungkapnya.
“Sebelumnya juga ada ada pasal atau ayat yang diusulkan oleh YARA untuk dihapus karena sudah ada keputusan MK. Ada usul menambahkan syarat usia calon pemimpin yang bisa mengakomodasi calon dari generasi milenial,” ungkapnya.
Sejauh ini menurutnya, belum jelas apa urgensi dari Revisi UUPA. “Apakah mau minta perpanjangan dana Otsus? belum ada para pengusul revisi UUPA yang menganalisis situasi politik di Jakarta, apakah kondusif untuk mengusulkan revisi?,” sebutnya.
“Karena usulan revisi bisa membuka pintu untuk menghapuskan atau menambahkan pasal baru, sebagaimana yang terjadi pada revisi terhadap UU Otsus Papua,” tambahnya lagi.
Kemudian, soal Bendera, Dr Otto mengatakan, apa salahnya pada pasal UUPA, atau pada Qanun, atau pada keterbatasan kemampuan Lobby Aceh.
“Apakah kesalahan itu terletak pada UUPA atau karena rendahnya kapasitas dan integritas pemimpin dan elit politik Aceh itu sendiri,” ucap Dr Otto.
Semua Gubernur dan pimpinan DPRA pasca MoU Helsinki gagal meloloskan Bendera untuk bisa dikibarkan oleh rakyat. Bahkan, kata Dr Otto, dana SiLPA terjadi disemua rezim Gubernur dan DPRA pasca MoU Helsinki.
“Bahkan gejala defisit anggaran mulai terjadi pada level Kab/Kota, apa itu merupakan kelemahan dari UUPA atau itu merupakan kebodohan dari rezim politiknya?, tidak ada garansi jika revisi UUPA dapat membuat Aceh menjadi lebih baik,” pungkasnya.
Beberapa waktu lalu, Antropolog Aceh, Teuku Kemal Fasya mengatakan, kepada para pemangku kepentingan yang terlibat dalam revisi UUPA agar lihai dalam melihat setiap pasal yang ada dalam UUPA.
Sehingga pun direvisi, kata Kemal, UUPA bisa lebih efektif dalam pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh, bukan malah menjadi bumerang.
“Jadi yang perlu dilihat memang pentingnya sinergi antar seluruh masyarakat dalam proses revisi UUPA ini karena yang pertama kita lihat ketidakefektifan UUPA dalam implementasi sehingga akhirnya banyak poinnya yang anomali, baik anomali demokrasi maupun anomali dalam politik kesejahteraannya,” ujar Kemal Fasya saat diminta tanggapan oleh Dialeksis.com, Sabtu (26/2/2022).
Menurutnya, keberadaan UUPA saat ini belum mampu mendongkrak semangat demokrasi di Aceh. Begitu juga dalam hal kesejahteraan masyarakat Aceh, dimana DOKA (Dana Otonomi Khusus Aceh) diatur melalui UUPA juga belum efektif dalam kemajuan Aceh, sehingga Aceh masih berkutat sebagai provinsi termiskin di Sumatera. [ftr]