Sahruddin: Bagi Sembako atau Uang Jelang Pemilu Masuk Kategori Vote Buying
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizky
Dosen Ilmu Politik Universitas Nasional, Sahruddin Lubis
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2023 Pasal 55 memperbolehkan kegiatan bakti sosial (baksos) bagi peserta Pemilu yang pada aturan sebelumnya (PKU Nomor 23 Tahun 2018) tidak diatur sebagai kegiatan yang dizinkan, hanya donor darah dan sejenisnya yang diperbolehkan.
Sementara, kampanye pemilu yang diatur di PKPU Nomor 15 tahun 2023 Pasal 55 memang sifatnya menyeluruh, sepanjang tidak melanggar peraturan perundangan-undangan boleh saja, termasuk juga di dalamnya kegiatan berupa deklarasi atau konvensi, pentas seni, olahraga, bazar, perlombaan, dan/atau bakti sosial. Namun, kegiatan yang dimaksud banyak menimbulkan kontroversi dan membuat masyarakat bingung, misal ada bacaleg yang memberikan bantuan jelang pemilu, ketika ia menerima bantuan tersebut apa ia harus memilih yang memberikan bantuan tersebut atau tidak?
Menanggapi hal tersebut, Dosen Ilmu Politik Universitas Nasional, Sahruddin Lubis mengatakan, kegiatan yang dilakukan itu sah-sah saja sepanjang kegiatan tersebut diatur lebih lanjut dengan mekanisme yang jelas sehingga tidak terkesan penodaan terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Apalagi kegiatan pentas seni, olahraga, bazar, perlombaan dan/atau bakti sosial.
Menurutnya, kegiatan-kegiatan ini memang dikenal sebagai kegiatan yang sifatnya sosial bukan politik. Jika tidak diatur lebih lanjut maka bisa saja orang antipati dengan acara sosial tersebut, kalau sifatnya deklasi dan konvensi orang sudah mafhum kalau ini memang biasanya masuk domain politik. Namun, jangan sampai kegiatan-kegiatan sosial tersebut memiliki citra negatif karena terlalu banyak nuansa politiknya.
Ia juga menyampaikan, money politic atau tepatnya vote buying (pembelian suara) pada saat pemilu tidak bisa ditoleransi dalam bentuk apapun karena sejatinya masyarakat bebas menentukan pilihan tanpa harus ada transaksi yang sifatnya material antara masyarakat sebagai pemilih dengan caleg. Satu satunya “transaksi” yang diperbolehkan antara pemilih dan caleg adalah “transaksi janji” dan “transaksi program” untuk kelak memperjuangkan aspirasi masyarakat ketika nanti terpilih menjadi anggota legislatif.
Lanjut Saharuddin, yang perlu dibangun antara pemilih ada kontrak politik yang mengikat antara pemilih dengan calon. Menjelang pemilu sering kita jumpai para caleg membagi-bagikan duit, sembako, bantuan sosial ke panti, dan bantuan ke rumah ibadah menjelang pemilu. Kalau waktunya menjelang pemilu maka bantuan-bantuan ini masuk katagori money politics atau vote buying, walaupun dengan dalih memberikan bantuan kepada fakir miskin.
"Pastilah caleg ini berharap agar dia dipilih, artinya ia mengharapkan adanya timbal balik, kalaulah dia murni ingin memberikan bantuan fakir miskin kan bisa dimaksimal di luar waktu pemilu atau memberikan bantuan secara diam-diam tanpa publikasi diri," ucapnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Minggu (13/8/2023).
Sebaiknya masyarakat tidak mentolerir ada praktik money politik saat pemilu, mestinya masyarakat membangun kesadaran diri secara pribadi maupun kolektif untuk menolak politik uang. Harusnya komunitas-komunitas masyarakat baik di tingkat desa, RT dan RW membangun komitmen bersama agar tidak terlibat dan memfasilitasi terjadinya money politik. Umpamanya dibentuk desa bebas money politik dengan kampanye desa kami bebas dari politik uang.
"Saya yakin tidak akan ada caleg yang berani melakukan money politic di desa tersebut, alih-alih mendapatkan suara, malah sang caleg bisa mendapatkan citra buruk di mata masyarakat pemilih," ujarnya.
Tidak hanya itu, ia juga menyebut, praktik terkait dengan antipolitik uang sudah diimplementasikan di beberapa desa di Provinsi D.I Yogyakarta. Tentu hal tersebut bisa terlaksana ketika ada keinginan dan komitmen bersama dari masyarakat. Masyarakat miskin sangat rentan dengan vote buying saat pemilu karena alih-alih memikirkan visi misi dan program yang ditawarkan partai dan caleg. Pada akhirnya, mereka malah terjebak dengan tawaran manis untuk mendapatkan duit dari caleg yang memang sangat menggiurkan untuk menutupi beban hidup sehari-hari.
Sebagian pendapat mengatakan demokrasi bisa berkembang jika masyarakat juga maju secara ekonomi. Masyarakat yang maju secara ekonomi tidak mudah menukarkan hak pilihnya karena imbalan materi semata. Mereka akan lebih rasional dalam menentukan suara pilihannya. Jadi, sepanjang masyarakat kita sebagian berada pada katagori miskin, maka potensi politik tetap terbuka lebar.
Masyarakat harusnya menentukan pilihan secara rasional. Pilihan masyarakat jatuh pada caleg tertentu sudah melalui pertimbangan, tidak asal pilih saja, bukan karena bagian dari keluarga, satu daerah, atau malah karena memberikan bantuan sesaat, tetapi benar-benar harus dilihat track recordnya. Akan lebih mudah lagi apabila sang caleg adalah incumbent, di samping kita melihat visi misinya, kita bisa melihat track record selama ini ketika sudah menduduki jabatan politik.
Pertanyaan-pertanyaan pasti muncul, apakah sang caleg benar-benar bekerja untuk kepentingan masyarakat, benar-benar menyerap aspirasi masyarakat atau sekedar memperkaya diri dan golongan? Apakah juga sering hadir di tengah masyarakat atau datang ketika menjelang pemilu saja? Ini kan bisa sebagai cara untuk menilai caleg tersebut. Adapun caleg yang belum pernah terpilih kurang lebih sama, kita lihat saja trackrecord, integritas, dan pengalamannya selama ini. Apakah sudah peduli dan mau memperjuangkan kepada masyarakat? Ini bisa dilihat.
"Masyarakat jangan memilih caleg yang tidak kenal sama sekali, bahkan belum pernah ketemu dan pernah mendengar prestasi sang caleg, bisa-bisa terjebak, seperti memilih kucing dalam karung, hanya karena memberi bantuan sesaat, punya sepanduk banyak," tegasnya lagi.
Sekarang sudah saatnya masyarakat berpikir rasional dan jernih ketika menjatuhkan pilihan saat pemilu. Salah pilih akan sengsara lima tahun ke depan. Ketika pilihan diberikan kepada orang yang tidak amanah, tidak berintegritas, dan tidak peduli dengan kepentingan masyarakat, maka tidak ada kesejahteraan di dalamnya.
"Maka selama itu pula kehidupan masyarakat jauh dari pada sejahtera karena ada kecenderungan pada politisi lebih memperhatikan kepentingan peribadi dan partainya," pungkasnya.