Saifuddin Bantasyam, SH., MA; Pokir Harus Akuntabilitas dan Transparan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Baga
DIALEKSIS.COM| Banda Aceh - “Saya berharap soal Pokir harus dikedepankan akuntabilitas dan transparansi. Legislatif harus memperlakukan proyek pokir secara sama dalam pengawasannya seperti terhadap proyek-proyek nonpokir. Jangan ada pilih kasih, atau mendiamkan penyelewengan karena khawatir terkena diri sendiri,” sebut Saifuddin Bantasyam, SH., MA.
Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) ini, dalam menjawab Dialeksis.com, Rabu (22/02/2023) malam, soal hangatnya pembicaraan Pokir DPRA yang kini menjadi hangat dibicarakan, dia memberikan penilaian dalam beberapa hal.
“Ada beberapa hal yang saya bisa sampaikan. Jika Asnawi saja yang kecewa (anggota DPRA Red), karena mendapatkan dana pokir yang sedikit, maka publik akan menilai bahwa kekecewaan itu merupakan perasaan subjektifnya saja,” jelasnya.
Kekecewaan itu tidak merefleksikan sikap yang bersangkutan terhadap paket dana tersebut, misalnya terkait apakah pengusulan dana itu dulu melalui proses yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, jelasnya.
“Saya berharap yang mengemuka seharusnya bukan ketua dapat banyak, wakil ketua dapat lebih sedikit, anggota banggar dapat dalam jumlah yang lumayan, kemudian yang bukan anggota dewan dapat sekadarnya saja. Lalu yang dapat sedikit melakukan komplain. Cara demikian sangat personal oriented, bukan public oriented,” jelas dosen Fakultas Hukum USK ini.
Menurutnya program pokok-pokok pikiran (Pokir) itu memang sesuatu yang legal atau sah. Prosesnya dikaitkan dengan fungsi anggota dewan untuk menyerap aspirasi masyarakat dan kemudian mengusulkan aspirasi itu kepada kepala daerah.
Namun, katanya, karena KKN masih menjadi masalah besar di negeri ini, dan lembaga legislatif disebut sebagai lembaga yang koruptif, maka ada warga masyarakat yang mengkhawatirkan bahwa SKPA nantinya bermain dengan anggota legislatif saat pelaksanaan proyek.
“Potensi permainan itu ada pada saat tender atau penyedian ‘hak pawang’ oleh kontraktor kepada anggota dewan,” jelasnya.
“Juga sangat mungkin terjadi,” lanjut Syaifuddin Bantasyam,” temuan oleh dewan terhadap penyimpangan proyek, dibiarkan saja oleh dewan. Belum lagi, jika instansi lain juga dijanjikan jatah dalam jumlah tertentu, proyek menjadi tak sesuai dengan rencana, dan yang dirugikan adalah masyarakat”.
Jadi, lanjut Syaifudin, dalam kaitannya dengan pokir itu, saya berharap akuntabilitas dan transparansi harus dikedepankan. Legislatif harus memperlakukan proyek dengan pokir secara sama dalam pengawasannya seperti terhadap proyek-proyek nonpokir. Jangan ada pilih kasih, atau mendiamkan penyelewengan karena khawatir terkena diri sendiri.
“Ke depan, saya juga berharap, eksekutif juga perlu mempelajari dengan sungguh-sungguh usulan tersebut. Misalnya apakah memang betul-betul karena kebutuhan rakyat, ataukah hanya sebatas imajinasi anggota dewan saja untuk daerah pemilihannya,” sebut Syaifuddin.
“Jika memang rakyat memang ternyata sangat butuh, yang tak ada masalah, tetapi harus berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, transparan, dan akuntabel,” pintanya.
Dalam pekan ini publik dihangatkan dengan pemberitaan tersebarnya pagu Pokir anggota DPRA. Pagu Pokir itu sangat fantastis dan mendapat sorotan dari anggota dewan lainya (Asrizal Asnawi dari Fraksi PAN).
Asrizal kepada media menyebutkan, pagu pokir yang diterima pimpinan dan anggota Banggar dengan anggota non Banggar telah terjadi ketimpangan yang luar biasa.
"Banggar DPRA bohongi anggota non banggar. Sebab awal tahun 2022 anggota non banggar disepakati 15 miliar. Yang banggar 20 miliar," sebutnya.
Namun faktanya, lanjut Asrizal, Ketua DPRA Saiful Bahri alias Pon Yaya menerima dana pokir yang nilainya sangat fantastis yaitu Rp Rp 135 miliar lebih. Sedangkan para wakil ketua bervariasi mulai dari Rp 91 miliar lebih, Rp 85 miliar lebih, hingga Rp 74 miliar lebih.
Sementara anggota Banggar menerima pokir hingga puluhan miliar. Sedangkan anggota non Banggar hanya menerima Rp 8 miliar lebih. (Baga)