Segera Bahas R-APBA 2022, Jika Tidak?
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Rustam Effendi. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengamat Ekonomi, Rustam Effendi mempertanyakan keseriusan eksekutif dan legislatif di Aceh terkait pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (R-APBA) tahun 2022 yang seharusnya pada bulan September ini sudah mulai dibahas.
Lanjutnya, Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) R-APBA 2022 harus sudah selesai itu. Jadi ini yang tidak boleh diabaikan oleh kedua belah pihak.
"Ini sudah akhir September, tapi kita belum membahas R-APBA nya, sedangkan jabatan Gubernur Nova akan habis pada awal bulan Juli 2022. Sudah pasti sebagian program/kegiatan nanti yang eksekusi adalah Penjabat (PJ). Nah, ini kan jadi pertimbangan juga. Kita inginkan bagaimana yang ditinggalkan oleh Pak Nova itu dapat dilanjutkan oleh PJ untuk tahun 2022," jelas Rustam kepada Dialeksis.com, Rabu (22/9/2021).
Untuk itu, menurutnya, perlu disiapkan dulu apa program dan kegiatan (proyek) yang prioritas dibangun pada 2022 mendatang. Kita sangat berharap program-kegiatan yang dirancang dan dieksekusi harus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh. Kita menaruh harapan agar ekonomi kita bisa tumbuh tinggi agar kita dapat meningkatkan nilai tambah dan kesempatan kerja di daerah kita. Dengan begitu jeratan kemiskinan dapat diurai.
"Misal, bidang infrastruktur apa yang bisa kita siapkan, sehingga bisa menjadi penopang untuk ekonomi Aceh bisa tumbuh. Kemudian bidang ekonomi, sektor-sektor apa saja yang mau dibangun. Cermati problema mendasar yang sedang dihadapi Aceh saat ini. Rancang program dan proyek (kegiatan) yang benar urgen dan dapat mengatasi kelambanan pertumbuhan ekonomi selama ini. Lakukan ini dengan serius. Kita berharap perancang program-proyek di Dinas-dinas strategis seperti Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan Perikanan, Disperindag, dan lainnya harus lebih sinerjik dalam proses perancangan program-kegiatan ini dibawah koordinasi Bappeda Aceh. Jangan lupa juga melakukan koordinasi dengan kabupaten-kabupaten, khususnya yang jadi kawasan sentral produksi selama ini," sebutnya.
Saat ditanya, apabila muncul ketidakjelasan atau kendala bagaimana dampak untuk ekonomi Aceh?
Pertama, ketidak-tepatan sasaran plot untuk proyek (kegiatan) kembali terulang ini akan berisiko. Mengapa, karena hanya dengan luncuran proyek yang tepat dan strategislah yang bisa menjadi agen perubahan untuk Aceh ke depan. Penting diingat, apabila salah memilih proyek, maka tidak akan ada perubahan kesejahteraan rakyat.
Selain itu, sebenarnya sebelum membahas KUA-PPAS, Pemerintah Aceh juga berkewajiban membahas Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) dengan DPRA.
"Kita berharap terdapat kesamaan cara pandang antara Legislatif dan Eksekutif. Jika berbeda, maka pasti akan berimbas pada macetnya pembahasan. Kemendagri tentu tidak menginginkan hal itu terjadi. Kalau sampai macet, maka dikhawatirkan akan berujung pada Pergub. Jujur saja, tidak mungkin juga dibiarkan pembahasan berkepanjangan hingga sampai bulan Februari, atau Maret, April. Itu tidak akan mungkin. Ini yang harus disikapi dengan bijak dan hati-hati sekali oleh eksekutif dan legislatif kita," tambahnya.
Lanjut ekonom ini lagi, akhir tahun ini adalah momen yang sangat riskan dalam konteks proses pembangunan daerah. Hingga jelang akhir September ini, menurutnya, belum terlihat ada tanda-tanda pembahasan R-ABPA 2022. Pengamat ini sangat berharap agar pembahasannya disegerakan demi kepentingan kesejahteraan rakyat Aceh. Tentu, dalam konteks ini harus terwujud pula hubungan yang harmonis dan sinerjik antara eksekutif dan legislatif.
"Tahun 2022 merupakan tahun terakhir Aceh mendapat alokasi dana otsus sebesar 2% dari DAU Nasional. Atau, sekitar Rp 8,3 Triliun. Mulai tahun 2023 hingga tahun 2027 kita hanya dapat setengah dari yang ada sekarang, yaitu sekitar Rp 4,1-4,2 triliun," pungkasnya.