Rabu, 12 Maret 2025
Beranda / Berita / Aceh / Seluk Beluk Hukum Syariah di Aceh: Menelusuri Jejak Tradisi dan Perubahan

Seluk Beluk Hukum Syariah di Aceh: Menelusuri Jejak Tradisi dan Perubahan

Selasa, 11 Maret 2025 13:15 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi syariat islam di Aceh. Foto: YPD


DIALEKSIS.COM | Aceh - Sejak tahun 2002, Pemerintah Aceh telah melaksanakan penerapan syariat Islam secara legal melalui dasar hukum yang kuat, yaitu UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Regulasi tersebut telah dijadikan landasan untuk mengimplementasikan syariat Islam secara menyeluruh di Tanah Rencong.

Penerapan syariat Islam di Aceh mencakup berbagai aspek, mulai dari ranah aqidah, syar'iyah, hingga akhlak. Secara spesifik, pelaksanaan syariat Islam mengatur urusan ibadah, hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah), hukum perdata (muamalah), hukum pidana (jinayah), peradilan (qadha’), pendidikan (tarbiyah), dakwah, penyebaran nilai Islam (syiar), dan pembelaan Islam. Aturan-aturan tersebut tertuang dalam berbagai qanun Aceh yang telah disahkan sejak dimulainya penerapan syariat pada tahun 2002.

Beberapa qanun awal yang dikeluarkan antara lain Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam serta Qanun Nomor 11 Tahun 2002 mengenai Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Seiring berjalannya waktu, Pemerintah Aceh mengesahkan qanun tambahan, seperti Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, dan Qanun Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Syariah.

Di antara berbagai regulasi tersebut, Qanun Jinayah mencuat dan menjadi topik kontroversial. Qanun ini mengatur sanksi bagi pelanggaran syariat Islam, di mana hukuman yang umum dijatuhkan adalah cambuk. Eksekusi hukuman cambuk pun kerap mendapat sorotan, mengingat Aceh merupakan satu-satunya wilayah di Indonesia yang menerapkan hukuman tersebut bagi para pelanggar syariat.

Menurut Roslina A. Djalil, Kepala Bidang Penegakan Syariat Islam Satpol PP dan Wilayatul Hisbah Banda Aceh, meskipun regulasi qanun telah ada, tidak berarti pelanggaran syariat di Banda Aceh dapat dihilangkan begitu saja. Wilayah yang dikenal sebagai Serambi Mekkah tersebut masih menghadapi berbagai kasus pelanggaran, seperti maisir (judi), khamar (minuman beralkohol), ikhtilath (bercumbu), dan khalwat (berdua-duaan di tempat sunyi).

Ia mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, pelanggaran syariat didominasi oleh kasus judi online dengan rincian 18 kasus maisir (judi online), 12 kasus khamar, 4 kasus ikhtilat, dan 1 kasus pelecehan seksual. Seluruh kasus tersebut telah diproses pada tahun sebelumnya. Untuk menekan angka pelanggaran, pihaknya berencana menggalang kerja sama dengan pengusaha, pemilik kafe, dan pengelola penginapan guna mengawal penerapan syariat Islam. Mereka diimbau agar tidak menyediakan ruang bagi pasangan yang tidak sah, serta menjaga agar wanita tidak berlama-lama di kafe bersama non-mahram.

Pakar Hukum Syariah dari UIN Ar Raniry, Syahrizal Abbas, menyatakan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh masih dirasakan kurang maksimal karena belum mencakup seluruh aspek kehidupan sebagaimana amanat UU Pemerintah Aceh. 

Menurutnya, meskipun penerapannya telah berjalan, pelaksanaan hukum syariat belum sepenuhnya menyeluruh, dan masih terdapat kekurangan dalam menjangkau berbagai sektor kehidupan.

Oleh karena itu, Syahrizal menekankan perlunya evaluasi menyeluruh untuk mengukur efektivitas pelaksanaan syariat Islam serta mengidentifikasi kendala yang menghambat implementasinya. Ia mengemukakan bahwa dua faktor utama yang menentukan keberhasilan penerapan syariat di Aceh adalah komitmen pemerintah sebagai otoritas pelaksana dan kesadaran masyarakat. 

"Pemerintah Aceh harus menunjukkan tanggung jawab penuh dalam menetapkan kebijakan, sementara masyarakat perlu menginternalisasi nilai-nilai syariat secara sukarela, bukan karena paksaan," ujarnya.

Lebih lanjut, Syahrizal mengusulkan agar dilakukan revisi dan perbaikan terhadap qanun yang menjadi landasan pelaksanaan hukum syariat. Ia menilai, penyesuaian regulasi tersebut merupakan langkah konstruktif untuk mengatasi kendala yang dihadapi aparat penegak hukum, termasuk dalam implementasi Qanun Jinayah.

Di sisi lain, pengalaman seorang penyintas hukuman cambuk di Banda Aceh, yang berinisial DG (36), mengungkapkan bahwa penerapan hukuman tersebut belum merata. 

Menurutnya,"hukum cambuk seringkali hanya menjatuhkan sanksi kepada kalangan masyarakat bawah, sementara pejabat yang terlibat dalam pelanggaran seperti khalwat kerap kali terbebas karena alasan kurangnya bukti," ungkapnya.

DG pun mengkritik aturan mengenai tata cara berpakaian saat berolahraga yang mengharuskan masyarakat untuk berpakaian sopan dan syariah. Ia menyampaikan bahwa razia polisi syariat yang menargetkan pelanggaran tersebut mengakibatkan puluhan warga diberi pembinaan, sekaligus didata identitasnya.

DG menambahkan, meskipun terdapat keinginan dari sebagian masyarakat untuk memprotes penerapan hukum syariat yang dinilai tidak adil, kekhawatiran akan label anti-Islam membuat mereka memilih untuk diam. Tak jarang, protes atau perbedaan pendapat langsung direspon dengan tuduhan anti-Islam, kafir, dan sejenisnya.

"Secara keseluruhan, implementasi syariat Islam di Aceh merupakan suatu proses yang kompleks dan terus berkembang. Evaluasi, penyesuaian regulasi, serta peningkatan kesadaran dan komitmen baik dari pemerintah maupun masyarakat menjadi kunci utama agar penerapan hukum syariat di Aceh dapat berjalan secara maksimal dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat," tutup Syahrizal Abbas. [cnnindonesia]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
ultah dialektis
bank Aceh
dpra
bank Aceh pelantikan
pers