Seorang Ibu di Aceh Utara Ditahan Bersama Bayinya karena UU ITE, Begini Tanggapan KPPAA
Font: Ukuran: - +
Reporter : Roni
Wakil Ketua KPPAA, Ayu Ningsih. Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) menyoroti kasus Isma (33) dan bayinya yang berusia enam bulan karena harus menjadi menghuni Rumah Tahanan Negara (Rutan) Lhoksukon, Aceh Utara.
Isma divonis bersalah karena melanggar Undang-undang Informasi dan Traksaksi Elektronik (UU ITE) oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon, Aceh Utara.
"Seharusnya kasus ini bisa diselesaikan secara musyawarah/kekeluargaan dan tidak perlu berujung sampai ke pengadilan," kata Wakil Ketua KPPAA, Ayu Ningsih kepada Dialeksis.com, Senin (1/3/2021).
"Kalaupun kasus ini dianggap serius oleh yang bersangkutan, seharusnya kasus ini juga masih bisa dinegosiasikan penyelesaiannya secara mediasi, sehingga ada win-win solution, pelaku tetap dihukum atas kesalahannya dengan penghukuman restorative dan penghukuman yang memulihkan, bukannya penghukuman yang berujung menang kalah di pengadilan dan berakhir di penjara," tambahnya.
Wakil Ketua KPPAA itu melanjutkan, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat selama ini adalah ketidaksiapan dalam menggunakan teknologi secara bijak dan sering kecolongan/kebablasan dalam menggunakan internet dan media social lainnya yang ada di smartphone,
"Kadang semua hal dicuitin ke medsos tanpa sadar dan berpikir panjang jika akibat dari cuitannya tersebut juga bisa berhadapan dengan proses hukum. Hal ini sering terjadi karena tidak semua masyarakat kita mengetahui adanya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), meskipun ketidaktahuan tentang UU ITE ini bukan menjadi alasan utama untuk menghentikan proses hukum kasus-kasus ITE yang menjeratnya," ujar Ayu.
Terkait kasus ini sendiri, lanjut Wakil Ketua KPPAA itu, seharusnya sejak kasusnya dilaporkan sang ibu juga berhak didampingi oleh penasehat hukum, karena sang ibu masuk dalam katagori perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Pasal 1 angka 1 PERMA 3/2017 mengartikan, perempuan yang berhadapan dengan hukum sebagai perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak, menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.
"Namun sayangnya kasus ini sendiri baru mencuat di media setelah adanya putusan dari pengadilan. Jadi kita tidak tahu apakah untuk kasus ini sang ibu didampingi oleh penasehat hukum atau tidak," ungkap Ayu.
"Karena kalaulah dari awal kasus ini didampingi, mungkin sang ibu tidak harus mendekam di dalam penjara bersama dengan bayinya yang masih berusia 6 bulan," tambahnya.
Ia melanjutkan, saat ini semua pihak terkait harus memastikan pemenuhan hak anak tersebut termasuk hak kesehatan, tumbuh kembang bayi yang ikut ibunya di penjara, dan pemenuhan gizi bagi ibunya serta pendampingan psikologis selama berada dalam penjara sehingga tidak berdampak pada pengasuhan anak.
"Kasus ini hendaknya dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua agar lebih bijak dan berhati-hati lagi dalam menggunakan teknologi dan social media, terutama bijak dalam menyaring berita atau informasi sebelum menyebarluaskannya," ujar Ayu.
"Gunakanlah smartphone seperlunya, terutama untuk hal-hal yang positif, gunakanlah smartphone pada tempat yang tepat, waktu yang tepat dan intensitas yang tepat," pungkasnya.
Sebelumnya diketahui, Warga Desa Lhok Puuk, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara itu dilaporkan oleh kepala desanya atas pencemaran nama baik.
Pasalnya, Isma mengunggah video berdurasi 35 detik ke Facebook soal kericuhan kepala desa dan ibunya. Video itu lalu viral di media sosial pada 6 April 2020. Sang kepala desa kemudian melaporkan Isma.