Sertifikasi ISPO Masih Terkendala, Sekdistanbun Aceh Sampaikan Sejumlah Solusi Konkret
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Sekretaris Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Ir. Azanuddin Kurnia. Foto: for Dialeksis
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aceh, sebagai salah satu provinsi sentra kelapa sawit utama di Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam upaya mewujudkan sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) bagi sektor perkebunan sawit. Berdasarkan data terbaru, Aceh menempati posisi kesembilan di Indonesia dengan luas perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 263.311 ha pada 2023, melibatkan 146.102 kepala keluarga (KK).
Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibanding lima tahun sebelumnya, dengan kenaikan sebesar 9,54% sejak 2019.
Namun, meski luas perkebunan sawit di Aceh terus berkembang, sertifikasi ISPO yang diharapkan menjadi standar wajib untuk seluruh pengusaha dan pekebun sawit masih jauh dari target. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, hanya sekitar 30 perusahaan besar dan lima kelembagaan koperasi pekebun yang sudah mendapatkan sertifikasi ISPO hingga semester I tahun 2024.
Sekretaris Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Ir. Azanuddin Kurnia, mengungkapkan bahwa rendahnya jumlah sertifikasi ISPO disebabkan oleh berbagai kendala, termasuk persyaratan sertifikasi yang sulit dipenuhi dan kurangnya insentif untuk mendukung pekebun sawit dalam memperoleh sertifikat tersebut.
Selain itu, kata dia, masalah legalitas lahan dan status kepemilikan menjadi hambatan terbesar bagi petani kelapa sawit.
"Pemerintah Indonesia termasuk Pemerintah Aceh harus melakukan langkah cepat, terstruktur, dan massif agar para pengusaha dan pekebun sawit bisa mendapatkan sertifikasi ISPO sesuai dari amanat Perpres 44/2020 dan Permentan 38/2020. Artinya sesuai amanat tersebut, maka Maret 2025 maka semua sudah tersertifikasi ISPO. Tapi bagaimana kenyataannya? masih jauh panggang dari api," kata Azanuddin kepada Dialeksis, Minggu (2/2/2025).
Menurutnya, langkah-langkah yang lebih terstruktur dan massif dari pemerintah pusat sangat dibutuhkan untuk menyukseskan program ini. Ia menekankan bahwa berbagai himbauan dari pemerintah hingga saat ini belum memberikan hasil yang memadai.
Lebih lanjut, ia menyebutkan beberapa langkah yang disarankan untuk mempercepat proses sertifikasi antara lain adalah menyatukan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah, mempermudah persyaratan sertifikasi tanpa mengurangi substansi kelapa sawit berkelanjutan, serta memberikan insentif dan pendanaan bagi pekebun sawit.
Langkah selajutnya, kata dia, pentingnya memperluas alokasi anggaran untuk sektor perkebunan, terutama untuk mencapai target sertifikasi ISPO, yang selama ini masih kecil dibandingkan dengan sektor infrastruktur.
Selain itu, sambungnya, kerjasama yang lebih intens dengan mitra pembangunan juga sangat penting untuk membantu pekebun, terutama pekebun kecil, dalam melengkapi persyaratan dan memenuhi biaya audit ISPO yang cukup besar. Terlebih lagi, tanpa sertifikasi ISPO, produk sawit Indonesia berisiko sulit bersaing di pasar global, yang pada akhirnya dapat merugikan ekonomi negara.
"Pemerintah harus bergerak cepat dan serius dalam mewujudkan sertifikasi ISPO, mengingat bahwa batas waktu yang ditetapkan dalam Perpres 44/2020 adalah Maret 2025. Jika tidak ada langkah kongkret, sektor perkebunan sawit Indonesia, termasuk di Aceh, berisiko menghadapi ancaman penurunan permintaan yang dapat mengguncang perekonomian nasional," pungkasnya.