Beranda / Berita / Aceh / Setelah Enam Bulan Ditahan, Tujuh Nelayan Aceh Timur Dibebaskan Otoritas Myanmar

Setelah Enam Bulan Ditahan, Tujuh Nelayan Aceh Timur Dibebaskan Otoritas Myanmar

Senin, 13 Januari 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Tujuh nelayan asal Aceh Timur yang sempat ditahan oleh otoritas Myanmar sejak 4 Juli 2024. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tujuh nelayan asal Aceh Timur yang sempat ditahan oleh otoritas Myanmar sejak 4 Juli 2024 akhirnya menghirup udara bebas. 

Mereka adalah Muhammad Nur, Nasruddin Hamzah, Abdullah, Mustafa Kamal, Mola Zikri, Zubir, dan Muzakir. Pembebasan ini menjadi kabar gembira bagi keluarga dan masyarakat Aceh yang selama ini menantikan kepulangan mereka.

Menurut Panglima Laot Aceh, Miftach Tjut Adek, ketujuh nelayan tersebut dibebaskan setelah melalui proses persidangan dan dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan pelanggaran batas perairan Myanmar.

 "Mereka terbukti tidak melanggar atau sengaja memasuki perairan Myanmar. Pembebasan mereka merupakan hasil upaya diplomatik yang didukung penuh oleh KBRI Yangon," ujarnya dalam keterangan kepada Dialeksis.com, Senin (13/1/2025).

Pembebasan ini bertepatan dengan peringatan 77 tahun Kemerdekaan Myanmar dari Inggris pada 4 Januari 2025. Ketujuh nelayan tersebut sebelumnya ditahan di penjara District Kawthaung selama lebih dari enam bulan.

 Selama masa penahanan, mereka mendapatkan bantuan logistik dan pendampingan hukum dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon.

KBRI Yangon bekerja sama dengan otoritas setempat untuk memastikan hak-hak para nelayan terpenuhi. "Bantuan logistik dan pengacara yang disediakan KBRI sangat membantu para nelayan dalam menghadapi proses hukum di Myanmar," kata Miftach.

Panglima Laot Aceh mengingatkan para nelayan untuk lebih waspada dan memahami batas-batas perairan internasional saat melaut. 

"Kami berharap tidak ada lagi nelayan kita yang ditahan atau ditangkap di negara lain akibat ketidaktahuan atau kelalaian,” tegas Miftach.

Ia juga menekankan pentingnya edukasi dan pelatihan kepada para nelayan, terutama mengenai peta laut dan penggunaan teknologi navigasi modern. 

"Kami akan terus bekerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk memberikan sosialisasi kepada nelayan agar kejadian serupa tidak terulang," tambahnya.

Miftach berharap ke depan ada peningkatan pengawasan dan koordinasi antara pemerintah daerah, Panglima Laot, dan instansi terkait untuk meminimalkan risiko penangkapan nelayan oleh otoritas negara lain.

“Kami akan terus mendorong adanya pelatihan-pelatihan bagi nelayan, terutama terkait navigasi dan batas wilayah, sehingga mereka bisa melaut dengan aman dan tetap mematuhi aturan internasional,” tutup Miftach.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI