DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aceh dinilai menyimpan potensi besar dalam sektor perikanan bernilai tinggi melalui budidaya sidat (Anguilla spp.) dan baramundi atau kakap putih (Lates calcarifer). Namun, hingga saat ini, dua komoditas unggulan tersebut masih belum mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah, yang justru lebih fokus pada program budidaya ikan nila dan lele.
Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh menunjukkan bahwa produksi ikan nila budidaya mencapai 16.810 ton pada tahun 2022, dan 9.626 ton pada 2023. Sementara itu, sidat dan baramundi belum memiliki angka produksi signifikan, meskipun harga pasarnya jauh lebih tinggi.
Di pasar ekspor, harga sidat dilaporkan bisa menembus Rp200.000 hingga Rp400.000 per kilogram, sedangkan baramundi premium di pasar domestik stabil di kisaran Rp70.000 sampai Rp120.000 per kilogram. Sebagai perbandingan, harga nila hanya berkisar Rp25.000-Rp35.000 per kilogram.
“Pemerintah daerah masih terlalu fokus pada komoditas yang berproduksi cepat tapi bernilai rendah, seperti nila dan lele. Padahal sidat dan baramundi memiliki potensi ekonomi jauh lebih besar,” ujar Masady Manggeng, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia (HIMITEKINDO) 2007-2009, Sabtu (4/10/2025).
Dari sisi ketersediaan benih, penelitian Universitas Malikussaleh menemukan populasi glass eel sidat di sungai-sungai pesisir Aceh Utara. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyalurkan benih kakap putih ke Simeulue, Aceh Timur, dan Aceh Barat Daya sebagai bagian dari program nasional.
“Di Aceh Singkil dan Aceh Utara, sudah ada kelompok pembudidaya sudah berhasil melakukan pendederan hingga pembesaran baramundi, menunjukkan potensi pengembangan yang nyata di lapangan,” tegasnya.
Menurut Masady, minimnya inovasi dan pola program budidaya yang monoton menjadi penghambat utama berkembangnya industri perikanan bernilai tinggi di Aceh.
Konsumsi domestik pun menunjukkan tren positif. Konsumsi sidat di Aceh diperkirakan mencapai 22 ton per tahun, dan permintaan baramundi terus meningkat di restoran premium. Ini menunjukkan pasar lokal sebenarnya siap menyerap produksi jika pengembangannya digarap secara serius.
Pembesaran sidat di Desa Kaliwungu, Kecamatan Kedungreja, Cilacap, Jateng. [Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia]Masady juga menyoroti bahwa pengembangan sidat dan baramundi bisa menjadi solusi strategis untuk mengurangi pengangguran di Aceh.
“Dari penangkapan benih, pendederan, pembesaran hingga pengolahan, industri ini bisa menyerap banyak tenaga kerja lokal. Ini sangat relevan dengan tingginya angka pengangguran di Aceh,” tambahnya.
Dari sisi regulasi, potensi ini juga diperkuat oleh Kepmen KP No.118/2021 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Sidat yang menegaskan pentingnya pengelolaan berkelanjutan, termasuk di Aceh.
“Dengan basis alam yang sudah mendukung, pasar yang siap menyerap, serta dukungan regulasi, Aceh sebenarnya memiliki modal kuat untuk menjadi sentra sidat dan baramundi di Indonesia, bahkan Asia. Namun, hal itu hanya bisa terwujud bila pemerintah daerah berani mengubah arah program, menghadirkan inovasi, dan memperkuat pembinaan pembudidaya,” tutup Masady yang juga merupakan politisi PDI Perjuangan. [*]