Soal Revisi UUPA, DPRA dan Pemerintah Aceh Ibarat 'Troh Kapai Pula Lada'
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Badan Legislasi (Banleg) DPR RI sudah menetapkan 40 judul rancangan Undang-Undang (RUU) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2022. Ternyata, dalam Prolegnas 2022 itu tidak ada agenda revisi (perubahan) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakya Meirizal mengatakan hal itu terjadi disebabkan karena kelalaian dari para stakeholder strategis yang ada di Aceh, baik DPRA, Pemerintah Aceh, maupun Forbes DPD/DPR RI.
"Mereka tidak konsen dan tidak fokus untuk memperjuangkan revisi UUPA ini untuk dilakukan pada 2022. Sejak 2020 kita sudah mengingatkan jika UUPA tidak direvisi pada tahun 2022, maka Otsus yang biasa kita terima 2% setiap tahunnya pada 2023 kita hanya akan menerima 1%," ungkapnya kepada Dialeksis.com, Kamis (23/12/2021).
Hal itu, lanjutnya, akan menjadi masalah bagi sumber pendapatan Aceh kedepan untuk membiayai berbagai agenda pembangunan dan pelayanan publik. Namun, ancaman itu tidak pernah direspon secara serius.
Syakya juga sudah berulang kali mengingatkan Ketua DPRA, jika perlu DPRA membentuk Pansus yang otputnya menyiapkan draf revisi UUPA. Ketika drafnya sudah dibuat dan disepakati oleh seluruh elemen di Aceh, baru diperjuangkan agar masuk dalam Prolegnas prioritas, ini satupun tidak dilakukan.
"Ketua DPRA baru mengeluarkan SK pembentukan tim advokasi UUPA itu November 2021, artinya ini bisa diibarakan seperti pepatah "Troh Kapai Pula Lada". Inilah yang terjadi sekarang ini," tegasnya.
Ia menjelaskan, harusnya pemerintah Aceh memperjuangkan Otsus itu untuk tetap berada di angka 2% dan diperpanjang selama 20 tahun kedepan. Seperti Papua selain diperpanjang 20 tahun malah dinaikan dari 2% jadi 2,25% dan itu bisa menjadi yurisprudensi bagi Aceh.
Menurutnya, untuk melaksanakan Undang-undang bersifat khusus yaitu UU No 11 tahun 2006 itu ada konsekuensi pembiayaan. Apabila tidak diikuti dengan pemberian anggaran maka bagaimana bisa melaksanakan kekhususan itu.
"Baik dalam konteks pembangunannya termasuk hak-hak khusus atau lembaga khusus yang diakui hanya ada di Aceh seperti Wali Nanggroe, Dinas Dayah, DSI, Majelis Pendidikan Aceh, MAA dan lembaga khusus lainnya," sebutnya.
Lanjutnya, untuk menjalankan lembaga itu semua membutuhkan biaya, jika dana Otsus tidak diberikan lagi dan revisi UUPA tidak jalan.
"Tahun 2027 jadi tahun terakhir dengan skema 2023-2027 hanya 1 persen, artinya dari mana kita mau menjalankan kekhususan Aceh. Ini adalah masalah kedepan, belum lagi selama ini, kita melihat struktur pendapatan Aceh dalam penyusunan APBA setiap tahunnya itu 50-60 persen berasal dari dana otsus," jelasnya lagi.
Ia menerangkan, bisa dibayangkan jika dana Otsus tinggal 1 persen, atau malah jadi 0 persen di tahun 2027. Itu bisa dibayangkan ada banyak dampak pembangunan misalnya pembiayaan JKA, beasiswa anak yatim, dana transfer untuk kabupaten/kota.
"Jika revisi UUPA tak bisa dilakukan di 2022 dan dana otsus tidak bisa dipertahankan tetap 2 persen. Maka akan terjadi turbulensi tata kelola pembangunan dan pemerintahan di Aceh kedepan," kata dia.
Ia memberi catatan untuk DPRA sekali lagi seperti "Troh Kapai Pula Lada", mereka telat bangun sebenarnya sudah dibangunkan mereka sejak awal, tetapi mereka tidak merespon.
"Jika hari ini tidak masuk prolegnas, itu kesalahan para stakeholder terutama. Saya menyoroti kinerja Forbes DPD/DPR RI jadi apa yang mereka lakukan disana, sebenarnya kita mengirim mereka itu untuk mengawal dan memperjuangkan kepetingan rakyat Aceh," pungkasnya.
Karena, lanjutnya, ada kepentingan rakyat Aceh dalam revisi UUPA itu termasuk memperpanjang dana Otsus dan mengakomodir poin-poin MoU Helsinki yang belum masuk. Tapi mereka abai dan lalai, jadi itu juga tanggung jawab utama yang tidak dijalankan Forbes DPD/DPR RI.