Stunting Aceh dan Unicef?
Font: Ukuran: - +
Pengamat Kebijakan Publik Aceh, Dr Nasrul Zaman. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Program Penanganan dan Pencegahan Stunting (P2S) di Aceh belum berjalan di tingkat bawah atau level warga masyarakat tetapi masih pada level Pemerintah Aceh dan 10 kabupaten/kota di Aceh yang terpilih menjadi program strategis nasional.
Sedangkan kabupaten/kota lainnya belum berjalan meski mandat Pergub Nomor 14 tahun 2018 program tersebut harus berjalan di seluruh Aceh.
Hal itu disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Aceh, Dr Nasrul Zaman kepada Dialeksis.com, Jum'at (23/10/2020).
Keadaan tersebut, lanjutnya, berimplikasi pada tidak maksimalnya penurunan angkat Stunting di Aceh. Ditambah lagi sejak 2018-2020 Pemerintah Aceh sendiri tidak mengalokasikan anggaran yang ditujukan khusus bagi P2S tersebut.
"Sudah anggaran tidak tersedia, ditambah lagi pandemi Covid-19, sehingga resiko tingginya angka stunting semakin terbuka lebar di Aceh," jelas Dr Nasrul Zaman.
Problem mendasar dari masalah stunting di Aceh menurutnya adalah perhatian dan kesadaran Pemerintah Aceh yang diwujudkan pada metode dan pola penanganan P2S di Aceh.
"Setelah Pergub-nya tersedia, sampai saat ini tidak ditemukan alokasi khusus untuk P2S tersebut, apalagi jika pola program selama ini lebih pada strategi tempel spanduk dan tebar sticker seolah menunjukkan program telah dilaksanakan," ungkap Pengamat Kebijakan Publik Aceh itu.
Untuk melahirkan gerakan masyarakat sipil agar masif membantu penanganan stunting di Aceh, ia berujar, Pergub Nomor 14 tahun 2018 sebenarnya telah memberikan arahan konvergensi antar stakeholder yang jelas dan tegas yang melibatkan partisipasi semua pihak terkait.
"Hanya saja hingga saat ini tim yang ditunjuk tidak dapat bekerja sesuai Pergub karena perhatian anggaran dan kebijakan yang belum diberikan oleh Gubernur Aceh," ungkap Dr Nasrul Zaman.
"Oleh karena itu, diharapkan Pemerintah Aceh segera membangun strategi aksi yang bisa dijabarkan dan diimplementasikan oleh pemerintah kabupaten/kota yangg dilakukan secara inklusif," tambahnya
Bagaimana keterlibatan Unicef terhadap stunting di Aceh?
Dr Nasrul Zaman mengatakan, persoalan kinerja lembaga NGO seperti Unicef dalam P2S menjadi persoalan sendiri dalam konstribusinya dalam program P2S di Aceh. Unicef diketahui bekerja bukan berdasarkan kebutuhan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota tetapi hanya berdasarkan kepentingan lembaga tersebut.
"Hal itu terlihat dari lokasi program mereka serta pola dan metode aksi yang tidak dirumuskan bersama dengan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota lokasi programnya," jelas Pengamat Kebijakan Publik itu.
"Kita berharap, pemerintah aceh bisa memanggil unicef dan mempresentasikan program mereka untuk bisa dievaluasi bersama," tambahnya.
Dr Nasrul Zaman berujar, jangan sampai Unicef itu hanya karena kurang diperhatikan pemerintah maka pihaknya hanya menggunakan pemerintah sebagai instrumen legitimasi kegiatan mereka, bukan mendorong partisipasi pemerintah untuk terlibat secara aktif dan proporsional dalam kegiatan Unicef.
"Kalau mau dilihat apakah Unicef berkonstribusi secara langsung pada penurunan angka stunting di Aceh tentulah hal yang kurang bijak karena Unicef tidak melakukan aktifitas gizi spesifik dalam kegiatannya melainkan hanya dalam kelompok kegiatan sensitif," ungkapnya.
Ia melanjutkan, Unicef belum mampu membantu pemerintah dalam urusan stunting, pertama, disebabkan desain program yang dijalankan di lapangan yang tidak didesain bersama dengan stakeholder termasuk pemerintah dan kelompok warga masyarakat.
Kedua disebabkan oleh karena Unicef memilih lokasi program bukan berdasarkan kebutuhan pemerintah tapi berdasarkan pilihan sendiri.
"Selanjutnya, jenis programnya tidak bergerak pada jenis kegiatan gizi spesifik yang langsung pada warga penderita stunting," pungkasnya.
Diketahui, Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Aceh Drs Sahidal Kastri menyampaikan hingga saat ini Aceh berada di urutan ke-3 nasional tertinggi angka Stunting.
Angka stunting di 23 kabupaten/ kota di Provinsi Aceh semuanya berada di ambang batas toleransi WHO dengan jumlah yang terdata bayi pendek dan sangat pendek itu mencapai 7.656 balita.