Tagore Ketua DAG Menuai Kritikan Soal Tambang
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Takengon - Pernyataan Tagore yang membawa nama ketua Dewan Adat Gayo dalam mendukung tambang tak henti menuai kritikan.
Bila sebelumnya Maharadi dari LSM Jang-ko dan Salman Yoga dari akademisi yang sekaligus seniman (baca Ada Apa dengan Tagore dan Tambang di Linge), kini giliran pihak lain yang melakukan kritikan atas sikap mantan anggota DPR RI itu.
Berbagai pernyataan kritikan itu disampaikan kepada Dialeksis.com, Kamis (19/12/2019). Kritikan itu berisikan kekecawan mereka yang menolak kehadiran tambang di Gayo atas sikap Tagore yang membawa nama dewan adat.
Berbagai pihak mempersoalkan legitimasi Dewan Adat Gayo yang dipegang Tagore. Karena pernyataan Tagore dalam mendukung tambang, bukanlah pernyataan masyarakat adat Gayo, namun merupakan pendapat pribadi.
Ketua LSM Linge Musara Syahidin, S.E., M. Si. Menyesalkan Tagore memberikan statemen yang mengatasnamakan DAG. Dewan adat adalah Rumah bagi semua orang, bukan rumah orang-orang tertentu.
Tagore mempersoalkan kesejahtraan masyarakat Linge, namun yang menjadi pertanyaan mengapa ketika dia duduk sebagai anggota DPR RI tidak memikirkan dana mencari solusi tentang ini melalui aspirasinya.
"Sekarang dengan adanya tambang, baru dia berargumentasi seolah-olah mau memberantas kemiskinan dibumi Gayo ini. Dari dulu selama ini menjadi DPR-RI kemana saja. Siapa orang yang sudah disejahterakan," tanya Syahidin.
"Adakah masyarakat kecil yang diperhatikan selama ini. Tidak ada yang bisa bapak perjuangkan. Kami masyarakat kecil tidak memilihnya lagi, karena kepercayaan yang sudah diamanahkan tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya," jelas masyarakat yang berasal dari Kute Reje, berdekatan dengan Linge ini.
Pernyataan Tagore adalah pernyataan keliru, tidak tepat sasaran. Tidak ada sejarahnya tambang bisa menyekolahkan masyarakat secara menyeluruh. Apakah dari hasil tambang bisa mengorbitkan lulusan S-1 S-2 dan S-3.
Nyatanya sampai sekarang ini tidak ada hasil dari pertambangan bisa meluluskan sumber daya manusia yang potensial dibidangnya masing-masing, jelasnya.
Sebelum Perusahaan mendapatkan izin produksi, berbagai macam cara dan upaya ditawarkan kepada masyarakat. Termasuk menawarkan CSR dan beasiswa pendidikan.
Setelah mereka mendapatkan izin produksi, janji itu punah. Kalaupun ada yang mendapatkan, hanya orang-orang tertentu yang mempunyai koneksi dengan pihak tambang.
Lain lagi yang dikatakan Suyanto ketua Umum HMI Cabang Takengon. Menurutnya pernyataan Tagore sangat keliru bila disebutkan tambang mampu mensejahterakan rakyat.
"Kalau benar tambang itu bisa mensejahterakan, maka puluhan tahun yang lalu masyarakat Indonesia seharusnya telah sejahtera. Karena ratusan perusahaan - perusahaan yang ada di Indonesia, namun kenyataanya belum ada daerah yang sejahtera karena tambang," sebut Suyanto.
Tagore perlu belajaran dan mengkaji kembali tentang dampak tambang. Kalau dikatakan tambang tidak merusak adat budaya namun justru mensejahterakan, sebagai orang yang pernah duduk di DPR RI, tentunya lebih tahu konflik masyarakat dengan tambang yang terjadi di setiap pertambangan.
"Saya rasa beliau tidak pantas jadi ketua Dewan Adat Gayo. Jika perlu bubarkan saja lembaga itu kalau hanya menjadi pendukung tambang yang hanya merugikan masyarakat Gayo," sebut Suyanto.
Fauzan Azima mantan jurubicara/ Panglima GAM wilayah Linge, membuat sebuah tulisan yang mengkritik sikap dan statemen Tagore mendukung tambang. Judul tulisan yang digores Fauzan " Ketua Dewan Adat Gayo adalah Pak Tua yang Harus Disadarkan". Dialeksis.com mengutip sebagian kalimat yang disampaikan Fauzan.
"Rakyat di Gayo umumnya lebih beradat daripada orang yang duduk pada struktur organisasi yang membawa-bawa nama adat Gayo. Apalagi semakin ke sininya telah tampak belangnya, tidak saja progress kerjanya di bidang adat tidak ada, tetapi juga membawa-bawa adat Gayo untuk eksploitasi alamnya," sebut Fauzan.
Mumpung DAG belum eksis, kecuali sudah ada akte notarisnya. Kalau rakyat Gayo mau sepuluh akte notaris bisa dibuat dalam bidang pengembangan adat. Namun karena DAG sudah melampaui kewenangannya dengan membawa-bawa nama adat Gayo, maka sebaiknya rakyat Gayo membuat organisasi Dewan Adat Gayo Perjuangan (DAGP) sebagai sempalan.
Organisasi ini digerakkan oleh orang-orang awam yang ingin mencari sejatinya adat Gayo. Itu lebih baik daripada mengaku sebagai orang beradat tetapi menggiring atas nama adat untuk bisnis yang sebagian besar rakyat Gayo menolaknya, sebut Fauzan.
"Pembentukan DAGP diperlukan sampai rakyat Gayo menemukan "pemimpin adat" yang sebenarnya. Anggaplah pertentangan DAGP kepada DAG sebagai teori tesis dengan antithesis menjadi sintesis. Atau anggaplah itu pertempuran antara Pandawa Lima dengan Kurawa. Atau teori perang Sun Tzu yang ditentukan pemenangnya berdasarkan moral para petempur," jelasnya.
Menurut Fauzan, apa yang dilakukan DAGP atau apapun namanya, tidak lain tujuannya adalah mencari bibit unggul Gayo yang berakhlaqul karimah. Tidak meninggalkan adatnya serta jauh dari kebencian kepada Ketua DAG, karena mereka juga adalah saudara atau Pak Tua yang harus disadarkan.
Kita adalah cermin generasi berikutnya dan kekayaan alam yang ada saat ini adalah titipan anak cucu kita, yang kelak akan kita kembalikan dan dipertanggungjawabkan kepada mereka, kata Fauzan.
"Apakah mereka akan bangga kepada kita atau sebaliknya menyumpahserapahinya? Semua bergantung kepada akhlak dan perlakuan kita terhadap alam hari ini," demikian tulisan Fauzan Azima.
Sebelumnya Tagore Abubakar yang mengatasnamakan ketua Dewan Adat Gayo, memberikan keterangan Pers soal dukunganya terhadap pertambangan di Linge. Tagore bukan hanya mengungkapkan data pertambangan, namun memberikan argumen dari segi agama dan sosial.
Tagore menjelaskan tentang keuntungan (saham yang akan dimiliki daerah), kesejahtraan masyarakat, penyelamatan adat istiadat Gayo, persoalan lingkungan di lokasi pertambangan, sampai dengan pendidikan dan upaya mengatasi tenaga kerja.
Lengkapnya keterangan Tagore baca "Ada apa dengan Tagore dan Tambang di Linge" (Baga)