kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Tanggapi Saran Kemendagri, KKR Aceh: Komitmen Kami Melaksanakan Mandat dan Tugas Tidak Berubah

Tanggapi Saran Kemendagri, KKR Aceh: Komitmen Kami Melaksanakan Mandat dan Tugas Tidak Berubah

Selasa, 12 November 2024 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh menegaskan komitmennya untuk terus menjalankan mandat rekonsiliasi dan pemulihan korban pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. 

Hal ini disampaikan oleh Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya, menanggapi saran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menyarankan pencabutan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR.

Masthur Yahya menjelaskan bahwa KKR Aceh telah bekerja sesuai dengan Qanun yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Gubernur Aceh pada tahun 2013. 

"Qanun ini merupakan hasil kerja keras masyarakat Aceh yang menginginkan pemulihan dari trauma masa lalu, dan kami merasa bahwa kehadiran KKR Aceh sudah menjadi bagian penting dari proses itu,” ungkap Masthur kepada Dialeksis.com, Selasa (12/11/2024).

KKR Aceh pertama kali terbentuk pada tahun 2016, setelah pemilihan komisioner yang dilakukan oleh DPRA. Sejak itu, KKR Aceh terus melakukan upaya pengumpulan pernyataan dari para korban pelanggaran HAM di masa konflik. 

Hingga saat ini, lebih dari 6.000 korban dari 14 kabupaten/kota di Aceh telah memberikan kesaksian dan berbagi pengalaman mereka dalam upaya pengungkapan kebenaran.

Menurut Masthur, data-data yang dikumpulkan oleh KKR Aceh tersebut menjadi landasan bagi rekomendasi reparasi dan pemulihan korban, serta program rekonsiliasi yang diusulkan kepada pemerintah pusat. 

KKR Aceh juga beberapa kali mengadakan audiensi dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Polhukam, Kementerian Hukum dan HAM, Bappenas, serta Kantor Staf Presiden untuk menyampaikan rekomendasi pemulihan bagi para korban.

“Tidak hanya itu, kami juga diundang untuk memberikan masukan dalam Penyelesaian Non Yudisial terkait tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh, yakni peristiwa Simpang KKA, Jambo Keupok, dan Rumoh Geudong yang ditangani langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2023. Ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat mengakui peran penting KKR Aceh,” ujar Masthur.

Surat Kemendagri yang diterbitkan pada 7 November 2024 menyarankan pencabutan Qanun KKR Aceh.

Dalam surat tersebut, Kemendagri menyebutkan bahwa pembentukan KKR Aceh perlu mengikuti regulasi nasional karena komisi ini dianggap sebagai bagian dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. 

Namun, undang-undang tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Saran tersebut mengundang reaksi dari KKR Aceh dan masyarakat Aceh yang telah lama berjuang untuk keadilan. Masthur menegaskan bahwa Qanun KKR Aceh adalah produk hukum yang dibuat berdasarkan otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). 

"Qanun KKR Aceh lahir dari semangat otonomi daerah dan perdamaian yang telah kita capai. Ini adalah bentuk komitmen kami untuk menghormati dan mengakui hak-hak korban pelanggaran HAM di Aceh,” ujar Masthur.

Masthur juga menyampaikan bahwa KKR Aceh akan terus melanjutkan upayanya untuk mendukung para korban dengan program reparasi dan pendekatan rekonsiliasi. 

Tahun ini, DPRA bahkan sedang menginisiasi perubahan terhadap Qanun KKR Aceh guna memperkuat kelembagaan KKR Aceh agar dapat bekerja lebih optimal dalam mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan di Aceh.

Dalam kerangka kerjanya, KKR Aceh telah mendapat dukungan dari pemerintah daerah, termasuk dalam mempersiapkan mekanisme pelaksanaan reparasi dan penyempurnaan konsep memorialisasi yang berbasis kearifan lokal. 

“Ini adalah bentuk nyata dari komitmen kita bersama untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan damai,” tutur Masthur.

KKR Aceh juga berencana memperkuat upaya rekonsiliasi bagi korban yang membutuhkan, termasuk mengadakan berbagai program yang mendukung pemulihan psikologis dan sosial bagi mereka. 

"Rekonsiliasi adalah proses panjang yang memerlukan komitmen kuat dari semua pihak, dan kami siap melanjutkannya selama masih ada dukungan dari masyarakat Aceh,” tegas Masthur.

Melihat kompleksitas persoalan ini, KKR Aceh berharap pemerintah pusat dapat memahami bahwa keberadaan KKR Aceh adalah bagian penting dari upaya Aceh dalam mempertahankan perdamaian dan keadilan.

“Kami berharap pemerintah pusat bisa lebih memahami konteks historis dan hukum di Aceh serta mendukung upaya kami untuk menciptakan masyarakat yang adil dan damai,” pungkas Masthur. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda