Tantangan Gen Z, Era Teknologi Canggih Tak Menentukan Tinggi Kesadaran Demokrasi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Literasi demokrasi digital perlu menyasar generasi Z yang akan menjadi generasi emas tepat saat Indonesia genap berusia 100 tahun. Pada saat itu, tahun 2045, Indonesia diyakini mendapatkan bonus demografi yang mana 70 persen jumlah penduduk merupakan usia produktif.
Generasi Z adalah kelompok masyarakat yang lahir pada rentang tahun 1997-2012. Data BPS (2020) menunjukkan Gen Z memiliki proporsi terbesar dalam jumlah penduduk Indonesia saat ini, yaitu sejumlah 27,94 persen atau 75,49 juta jiwa dari total penduduk 270,20 juta jiwa.
Dengan prosentase begitu besar, generasi emas ini akan memberikan pengaruh yang teramat kuat atas arah ekonomi, politik, dan sejarah Indonesia nantinya. Peran Gen Z sangat dibutuhkan sebagai agent of change dalam berbagai hal, termasuk dalam bidang politik dan perkembangan demokrasi.
Menurut Dekan FISIP USK, Dr Mahdi Syahbandir, SH, M.Hum, demokrasi digital bukan hal baru, tetap demokrasi tetapi menggunakan digital sebagai alat bantu untuk membuat demokrasi semakin baik kedepan.
"Hampir semua orang tidak bisa menghindar dari perkembangan digital bukan hanya politik, semua dipengarhi oleh faktor digital. Yang jadi permasalahan adalah apakah sarana kita sudah siap, terutama jaringan," ujar Mahdi dalam diskusi publik yang disiarkan di TVRI Aceh, Kamis (25/11/2021).
Lanjutnya, dari sekian banyak daerah hanya di perkotaan yang memiliki jaringan yang memadai. Hal itu merupakan kendala paling besar, jika kedepan Indonesia ingin memperlakukan demokrasi digital maka harus menyiapkan jaringan yang terjangkau di semua daerah Indonesia.
Sementara itu, Praktisi Media Aryos Nivada mengatakan, demokrasi digital menjadi sebuah tantangan bagi Gen Z, karena partisipasi politik dari mereka menjadi ujung tombak untuk membuat suatu perubahan pembangunan lebih baik.
"Hal itu, tentu dituntut kesadaran berpolitik yang menjadi penting, kesadaran politik Gen Z ini bisa dikatakan tidak linier atau mengalami keanomalian. Ketika konektivitas internet dan alur informasi yang luar biasa, harusnya itu menjadi korelasi yang signifikan dalam partisipasi mereka dalam politik," jelasnya.
Karena dengan itu, lanjutnya, mareka bisa tahu cara memperjuangkan hak politiknya, tetapi itu malah berbanding terbalik. Gen Z itu seperti terkurung dalam kondisi kenyamanan mereka, dimana menggunakan teknologi untuk kesenangan personality.
"Cenderung melupakan pentingnya hak berpolitik. Itu salah satu permasalahan besar yang dihadapi hari ini oleh generasi Z," katanya.
Menurut Aryos, peran media juga penting untuk menjadi ujung tombak dalam melakukan penyadaran berupa menyebarkan informasi pencerdasan bagi Gen Z.
"Jika Gen Z tidak sadar berpolitik maka ini akan jadi probematika bagi kita semua, sehingga nanti bisa mudah sekali negara kita dimainkan oleh poltik global. Tetapi ketika dihadapi pada kecerdasan politik mereka akan melakukan filterisasi terhadap diri sendiri, sehingga ketika dihadapkan pada lintas kepentingan, mereka dapat mmepertimbangkannya mana yang baik yang buruk," terangnya.
Pendapat berbeda disampaikan Mahdi, kondisi saat sekarang terutama pada saat partisipasi Pemilu itu setiap tahun tingkat partisipasi besar atau meningkat. Hal itu menandakan juga kesadaran berpolitik bagi pemula seperti Gen Z juga akan jadi pemilih pemula.
"Saya pikir itu sangat bagus, perlu ditingkatkan apalagi ruang media begitu besar dalam mempengaruhi ke arah positif. Sehingga jika ada konten-konten yang tidak bagus yang dapat mempengaruhi masyarakat dan pemilih. Disinilah perlu hadirnya pemerintah, untuk menyaring karena kita tidak bisa biarkan itu sebebasnya," jelasnya lagi.