Terkait Kebijakan E-Sertifikat Tanah, Begini Tanggapan Ahli Agraria
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
Ahli Agraria sekaligus Direktur Sekolah Riset SATUKATA, Dr Amin Tohari. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berencana mengganti sertifikat tanah dalam bentuk kertas menjadi sertifikat elektronik (E-Sertifikat).
Terkait hal itu, Ahli Agraria sekaligus Direktur Sekolah Riset SATUKATA, Dr Amin Tohari mengaku terkejut dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh kementerian ATR/BPN. Ia mengatakan, kebijakan ini sebagai hal yang sangat mendadak di sisi masyarakat.
"Soal sertifikasi ini bukan hanya soal legalitas, dia berkaitan juga dengan persoalan di masyarakat, ini suatu yang sangat sensitif," ujar Amin saat dihubungi Dialeksis.com, Minggu (7/2/2021).
Ia menilai, kebijakan pemerintah untuk mendigitalisasikan sertifikat tanah menjadi sertifikat elektronik merupakan hal yang tidak masuk akal.
Selain itu, kata dia, tidak semua sertifikat untuk saat ini berada di tangan masyarakat. Karena ada beberapa sertifikat tanah ada yang berada di bank.
Dan bagi masyarakat, lanjut dia, tidak mudah memberikan sertifikatnya kepada pemerintah untuk digantikan ke elektronik.
Sementara itu, Amin menuturkan, kebijakan digitalisasi sertifikat tanah ini, yaitu untuk memudahkan pasar tanah.
"Memudahkah pasar tanah itu bukan hal positif tetapi dia mempercepat proses pelepasan tanah. Ini yang disebut Tania Li, kekuatan eksklusi yang menendang rakyat dari tanahnya. Jadi kebijakan itu lebih melayani investasi dari pada melindungi ruang hidup rakyat," ungkap Amin.
"Bagi mereka yang mencari tanah, nanti tinggal cari saja dokumen digital dari pihak yang berwenang. Dia bisa melihat mana-mana saja sertifikat yang dijual," jelasnya.
Kemudian, lanjut dia, untuk saat ini masyarakat masih belum sepenuhnya percaya dengan kemampuan pemerintah dalam menjamin keamanan sertifikat berbentuk digital.
"Karena dia berbentuk digital, dia bisa diakses oleh instrumen berbentuk digital lainnya. Siapa yang menguasai instrumen digital, dia bisa mengakses sertifikat itu dengan sangat mudah," kata dia.
Belum lagi, lanjutnya, pengetahuan masyarakat tentang digital masih sangat minim. Sehingga, ada sebagian dari mereka nanti tidak tahu sertifikatnya ada dimana atau bagaimana dengan nasib sertifikatnya sekarang.
Kemudian, Amin Tohari mengatakan, kecenderungan digitalisasi ini seolah-olah sudah menjadi rumus baku bagi pemerintah untuk mendigitalisasikan semua hal.
"Cara berpikir digitalisasi ini telah merasuk kepada warga kita, seolah-olah kalau kita tidak digital, kita belum maju atau belum 4.0," ungkapnya.
Oleh karena itu, kata Amin, terkait dengan kebijakan sertifikat elektronik tanah, perlu kehati-hatian pemerintah dalam menjalankan kebijakan ini.
Lagi pula, lanjut dia, belum ada payung hukum yang tersedia sehingga tidak ada dasar bagi pemerintah untuk mendigitalisasikan sertifikat tanah masyarakat atau mengambil sertifikat tanah itu.
"Sekali lagi, ini bukan perkara yang mudah, ini bisa memicu konflik, ini sesuatu yang bahkan bisa membalikkan apa yang pemerintah bayangkan tentang efisiensi pertanahan," pungkasnya.