Terkait Polemik Mantan Koruptor Nyaleg, Aryos : Kembali ke UU Pemilu
Font: Ukuran: - +
Dosen FISIP Unsyiah, Aryos Nivada (Foto: rubernews)
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh- Dosen FISIP Unsyiah, Aryos Nivada, angkat bicara perihal polemik putusan Panwaslih Aceh yang membolehkan mantan napi korupsi mencalonkan diri pada Pemilu 2019 dalam kasus Abdulah Puteh. Panwaslih membatalkan keputusan KIP Aceh berdasarkan berita acara nomor 152/PL.01.4-BA/11/Prov/VII/2018 tentang hasil verifikasi keabsahan syarat bakal calon perseorangan peserta pemilu anggota DPD tahun 2019.
sementara Larangan caleg eks napi korupsi itu termaktub dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada pasal 4 ayat (3) peraturan tersebut disebutkan dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Menurut Aryos, polemik ini terjadi lantaran sejak awal KPU memaksakan diri memasukan materi larangan napi koruptor mencalonkan diri padahal dalam UU Pemilu hal demikian tidak mutlak dilarang selama calon bersangkutan mengumumkan status nya sebagai narapidana. Disisi lain, pihak panwaslih Aceh juga sejatinya dalam mengambil putusan harusnya merujuk kepada PKPU. Namun justru Panwaslih tidak merujuk pada PKPU dan merujuk langsung pada UU Pemilu.
" akar pangkal masalahnya adalah Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mutlak eks koruptor mencalonkan diri dalam Pemilu 2019 bertentangan dengan UU 7 tahun 2017. padahal pada Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang pada intinya menyebutkan seseorang yang pernah dipidana penjara 5 tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. kemudian karena hal ini panwaslih Aceh dan sejumlah Bawaslu daerah lainnya tidak mau merujuk pada peraturan KPU namun hanya pada UU Pemilu. "jelas alumnus universitas Gadjah Mada ini.
lebih lanjut dirinya juga mengatakan KPU terlalu dalam memaksakan materi aturan yang bukan kewenangannya.
"KPU memasuki wilayah yang terlalu dalam. Sebab, tugas KPU adalah menyelenggarakan pemilu. KPU kan bukan lembaga aspiratif, melainkan lembaga administratif. Peraturan KPU tidak dapat membatasi hak seseorang. Terkecuali adanya pembaruan undang-undang atau putusan pengadilan., Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 telah mengatur secara jelas mengenai hak seseorang. Terlebih lagi, adanya putusan pertama Mahkamah Konstitusi putusan nomor 51 tahun 2016 dan putusan 42 tahun 2015 telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun dalam konteksnya Pilkada. ," ujar Pengamat politik dan keamanan Aceh ini.
Dilain pihak, lolosnya mantan napi korupsi ini juga karena sejak awal Bawaslu tidak sependapat dengan aturan KPU yang bertentangan dengan UU Pemilu.
"PKPU menurut bawaslu tidak dapat menjadi acuan untuk sebuah instrumen mengurangi hak berpolitik seseorang. Penolakan juga datang dari pemerintah, Komisi II DPR RI. karena itu solusinya menurut saya simpel. KPU kembali merujuk kepada ketentuan UU Pemilu. maka polemik ini akan selesai" demikian aryos. (AP)