Tokoh Adat dan Agama Bahas Resam Gampong Perlindungan Perempuan dan Anak
Font: Ukuran: - +
foto:Ist
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejumlah perwakilan tokoh adat dan tokoh agama dari kabupaten/kota Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Barat mengikuti workshop penyusunan reusam gampong untuk perlindungan perempuan dan anak yang diselenggarakan oleh Flower Aceh-Konsorsium Permampu pada 11-12 Juli 2019, di Hotel Kryad Muraya, Banda Aceh. Workshop yang bertema "Peran Tokoh Adat dan Agama dalam Mendukung Pemenuhan HKSR bagi Perempuan dan Anak Perempuan" menghadirkan Ketua Pusat Riset Hukum dan HAM Unsyiah, Khairani Arifin, SH, M.Hum dan Dosen Hukum Unsyiah, Nursiti SH, M.Hum sebagai narasumber.
Koordinator divisi pemberdayaan masyarakat Flower Aceh, Ernawati mengatakan draft reusam desa yang telah disusun nantinya dapat disahkan dan dijadikan acuan untuk dijalankan di wilayahnya.
Selain itu, tambah Erna, kegiatan ini bertujuan untuk memberi pemahaman mengenai tehnik penyusunan reusam desa tentang perlindungan perempuan dan anak yang berperspektif gender dan menyusun rencana advokasi pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) di tingkat desa.
Ia menjelaskan pemasalahan yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi (KSR) masih kerap terjadi dan dialami oleh perempuan di tingkat desa.
"Perempuan seringkali menjadi korban lanjutan jika berkaitan dengan seksual dan reproduksinya, seperti mendapat stigma buruk, dipersalahkan dan bahkan penghukuman seperti yang terjadi pada kasus perempuan hamil tanpa ikatan nikah, meskipun sebagai korban pemerkosaan," terangnya.
Ia menuturkan, pandangan-pandangan merugikan perempuan terkait dengan seksual dan reproduksi terus saja terjadi seperti perlakuan yang menyudutkan dari pihak keluarga jika perempuan tidak memiliki anak, dituduh tidak perawan, stigma untuk korban perkosaan, dan sebagainya. "Persoalan ini harus dijawab dengan menghadirkan aturan yang dapat memecahkan masalah, mendukung pemenuhan hak masyarakat gampong, serta memberikan jaminan serta perlindungan kepada perempuan dan anak", tegasnya.
Beranjak dari persoalan diatas, sambungnya, Flower Aceh menilai pentingnya dukungan tokoh adat dan tokoh agama sebagai pihak yang memiliki pengaruh dan peran penting di masyarakat. "Sehingga keberpihakan terhadap upaya pemenuhan hak-hak perempuan dalam pengambilan keputusan adat dan keagamaan terkait HKSR dapat semakin menguat," ujarnya.
Keberpihakan tersebut, lanjut Ernawati, bisa diwujudkan melalui komitmen penyusunan reusam gampong tentang perlindungan perempuan dan anak.
Akademisi Unsyiah Nursiti menambahkan banyak pola-pola kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di tingkat gampong.
"Namun saat ini belum ada aturan khusus untuk mengaturnya di tingkat gampong, misal ketentuan khusus mekanisme penyelesaian yang adil dan berpekstif korban, kemudian bagaimana dengan mekanisme perlindungannya dan pencegahannya," kata Nursiti.
Dalam pemaparannya mengenai teknik penyusunan reusam, Nursiti menyebutkan tentang tahapan persiapan reusam yang penting untuk diperhatikan, yaitu pemetaan masalah yang ada di gampong lengkap dengan data pendukung untuk menentukan prioritas masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Dia menambahkan ketika prioritas masalah telah ditemukan, pastikan masalah tersebut jelas dan bisa diselesaikan dengan reusam dan belum diatur secara spesifik dalam peraturan yang lebih tinggi.
"Reusam yang diusulkan haruslah efektif dan berpengaruh pada banyak orang, serta sanksinya tidak boleh bersifat fisik, kurungan dan tidak manusiawi. Ketika kita berbicara tentang perlindungan perempuan dan anak, pastikan reusam yang akan dibuat memberikan perlindungan kepada perempuan, anak dan kelompok rentan lain yang ada di gampong," jelasnya.
Bustamam Kamal tokoh adat dari gampong Karieng, kecamatan Grong-Grong, Pidie, mengatakan, workshop penyusunan reusam desa tentang perlindungan perempuan dan anak ini sangat bermafaat baginya untuk menjalankan perannya di desa. Banyak permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan dan anak di tingkat desa, namun kekerasan tersebut dianggap permasalah rumah tangga. Hal tersebut baru menjadi perhatian warga ketika sudah jatuh korban jiwa.
"Hasil diskusi kelompok, kami menganggap KDRT itu persoalan gampong dan harus ada aturan yang mengaturnya, supaya rasa kepedulian dan tanggung jawab bersama bisa dibangun dalam masyarakat, jangan sampai kepedulian itu ada ketika ada korban jiwa," jelas Bustamam.
Lebih lanjut, Bustamam mengatakan, draft reusam yang akan disusun nantinya akan mengatur tentang mekanisme pelaporan dari saksi dan/atau korban, mekanisme penyelesaiannya juga sanksi-sanksi penyelesaianya yang sesuai dengan ketentuan sosial dan memberikan keadilan kepada korban.
Senada dengan Bustamam, Sofyan Ketua Tuha Peut Gampong Rawang Itek, kecamatan Panah Jambo Aye, Aceh Utara, mengatakan angka KDRT masih sangat tinggi di gampongnya. Kemudian juga ada permasalah anak yang lahir diluar pernikahan yang tidak mendapatkan perlindungan dan masalah adab dan kesopanan anak.
"Draft ini akan mengatur mekanisme perlindungan korban kekerasan dalam keluarga, dan masyarakat. Bagaimana penyelesaian kekerasan dan perselisihan di rumah dan masyarakat, pencegahan dan perlindungan," tutur Bustamam. (imd/rilis)