Tren Sandiwara Radio, Akademisi USK Sebut Pernah Populer di Aceh
Font: Ukuran: - +
Dosen jurusan Bahasa FKIP Universitas Syiah Kuala, Herman Rn. Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Nasional - Di era 60 an hingga 90-an keberadaan sandiwara radio mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Saat itu kisah fonomenal sangat dinantikan para pendengar setianya, seperti Misteri Gunung Merapi pada 1980-an, berlanjut dengan Saur Sepuh dan Tutur Tinular, hingga Catatan Si Boy. Masa keemas an itu membekas, bahkan jadi hal yang selalu dibahas saat mengenang masa itu.
Kondisi terkini, nyata kerinduan sandiwara radio mulai bangkit kembali, bahkan Dimas dari Ardan Radio pernah mengungkapkan di media republika, trend kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap sandiwara radio mengalami peningkatan pendengar setianya.
“Terlebih, untuk menikmati drama audio bisa sambil mengerjakan hal lain, seperti sambil menyetir, memasak, ngopi, atau saat ngabuburit di bulan Ramadhan,” ujarnya.
Pengalaman menyimaknya pun semakin mengasyikkan. "Dengan teknologi, audionya bisa dibikin lebih keren, kualitasnya jernih sehingga lebih oke. Itu bisa memicu banyak orang mencoba-coba membuat drama audio," ungkap Dimasta.
Hal senada disampaikan Dosen jurusan Bahasa FKIP Universitas Syiah Kuala, Herman Rn kepada Dialeksis.com (09/04/2023). Dirinya menjelaskan sandiwara radio memang mulai mendapatkan tempat kembali dalam dunia pendengar di Indonesia, termasuk di Aceh.
“Sandiwara radio semakin diminati yakni konsistensi, diperlukan penulis naskah sandiwara radio yang benar-benar paham, baik secara teknis maupun kualitas,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan selama ini sandiwara radio sempat menghilang karena pengaruh televisi dan internet. Di era revolusi digital saat ini, tatkala televisi sudah mulai mengalami revolusi ke arah dunia konten kreator, orang-orang mulai menonton televisi di internet.
Sejalan dengan itu menurut Herman, radio pun mulai menemukan kembali pemirsanya seiring kerinduan dan kebutuhan masyarakat Indonesia.
“Beberapa kali saya sempat mendengar sandiwara di radio. Namun, secara kualitas, sandiwara radio saat ini belum sampai pada klimaks sebagaimana pada masa booming Saur Sepuh, Nini Pelet, dan lain-lain,” ungkapnya.
Secara sejarah keberadaan sandiwara radio di Aceh pernah populer. Saat itu menurut Herman hadir kisah geulanggang labu, sinar jeumpa, dan beberapa lainnya yang menghidupkan sandiwara radio berbahasa Aceh.
“Ke depan diperlukan revormasi sandiwara radio yang disesuaikan dengan konteks kekinian dengan tema-tema yang mutakhir sehingga sandiwara radio kembali bergema di Aceh dan di daerah lain di Indonesia,” harap Herman.