kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Urgensi RUU KIA untuk Cegah Stunting Diharap Tak Intimidasi Perempuan

Urgensi RUU KIA untuk Cegah Stunting Diharap Tak Intimidasi Perempuan

Jum`at, 01 Juli 2022 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : akhyar

Pemerhati Anak asal Aceh Ayu Ningsih. [Foto: Istimewa]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Berdasarkan pratinjau Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang saat ini sudah masuk sebagai usul inisiatif DPR, di dalam draftnya memuat aturan cuti melahirkan selama enam bulan.

RUU KIA dipastikan akan menjadi pedoman bagi negara untuk memastikan anak-anak generasi penerus bangsa memiliki kualitas tumbuh kembang yang baik sehingga dapat menjadi sumber daya manusia unggul. 

Pemerhati Anak asal Aceh Ayu Ningsih menyatakan sangat sepakat dengan upaya penerbitan aturan cuti melahirkan selama enam bulan. 

“Karena di enam bulan pertama pasca melahirkan merupakan waktu dimana sang bayi sangat dianjurkan diberi asupan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif,” ujar Ayu kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Jumat (1/7/2022).

Menurutnya, RUU KIA juga akan menjadi landasan untuk menambah kedekatan emosional orangtua dengan anak, karena dengan cuti melahirkan selama enam bulan akan membuat kasih sayang ibu kepada anak jadi lebih maksimal.

Di samping itu, Ayu yang juga akademisi di Universitas Syiah Kuala (USK) juga menilai bahwa RUU KIA akan menjadi salah satu upaya untuk mengatasi persoalan stunting di Indonesia. 

Karena, kata dia, apabila waktu cuti untuk melahirkan diberikan sedikit, maka target pemerintah untuk mencegah stunting melalui ASI ekslusif tidak akan tercapai.

“Jangan jauh-jauh deh, coba kita lihat di Aceh, berapa persen balita yang berusia enam bulan mendapatkan ASI ekslusif. Tidak banyak. Makanya kita sangat sepakat saat pemerintah mau memberi perempuan hak cuti khusus selama enam bulan untuk menyusui anaknya dan memberikan kasih sayang utuh,” terangnya.

Di sisi lain, Ayu juga mewanti-wanti agar RUU KIA ini tidak menimbulkan polemik ke depan, karena dikhawatirkan para pengusaha salah menafsirkan aturan tersebut sebagai sebuah ancaman sehingga perusahaan takut untuk merekrut perempuan.

Makanya menurut dia, baiknya pemerintah dan pengusaha duduk berembuk bersama untuk bernegosiasi mencari jalan tengah atau win-win solution, serta ditanamkan pemahaman positif mengenai konsep perbedaan gender, agar wujud diskriminatif terhadap perempuan di dalam dunia kerja dapat diminimalisir.

Belum lagi, kata dia, berbicara masalah hak-hak karyawati yang harus dipenuhi selama mengambil cuti melahirkan. Jangan sampai karyawati ini terintimidasi dengan ancaman “mutasi jabatan” hanya karena hamil dan melahirkan selama bekerja.

“Semua lintas sektor, baik itu swasta, perusahaan dan pemerintah harus duduk bersama. Kita perlu melihat RUU KIA dalam bingkai big goalsnya atau tujuan jangka panjang. Dan sebisa mungkin kita hindari dampak-dampak negatifnya,” pungkasnya. (Akhyar)

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda