User Facebook, Sampaikan Kondisi Kualitas Program Disdik Aceh Rp 42 Milyar
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Tangkapan layar facebook/ Akhyar
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Salah seorang user Facebook dengan nama akun 'Syakya Meirizal' menyampaikan kondisi dan kualitas pekerjaan tempat cuci tangan yang dianggarkan untuk 400 sekolah SMA/SMK se-Aceh.
Realisasi program kegiatan tempat cuci tangan tersebut dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh, setelah disusupkan sebagai kegiatan Refocussing APBA 2020 dan menghabiskan dana anggaran sebesar Rp 42 milyar.
Pengguna user Facebook itu menuliskan, dari empat sekolah yang ia kunjungi, tiga di antaranya cenderung bermasalah dan satu sekolah relatif sempurna.
Ia juga menuliskan, dari 11 wastafel yang ia lihat tidak ada satu pun yang disambungkan dengan pipa pembuangan, bahkan sambungan pipa dengan water tank belum juga tersambung.
[Tangkapan layar Facebook/Akhyar ]
Pekerjaan yang masih cenderung bermasalah itu oleh pengguna akun Syakya Meirizal menuliskan, sudah ada pengakuan dari kepala sekolah untuk serah terima dan Berita Acara Serah Terima (BAST) telah ditandatangani.
Dalam lanjutan tulisannya, akun Syakya Meirizal itu menuliskan, terhadap fakta temuan ini memperkuat dugaan publik jika proyek kejar tayang itu hanyalah modus mengeruk keuntungan dalam bencana Covid-19 oleh segelintir orang.
Di penghujung tulisan, pengguna user Facebook itu mengajak masyarakat yang tinggal atau berdomisli di sekitar area SMA/SMK untuk melihat langsung hasil pekerjaan program tempat cuci tangan itu.
Ia juga berpesan kepada masyarakat yang menemukan kejanggalan dalam proyek itu supaya mengirimkan foto atau video, untuk kemudian ia kumpulkan sebagai bukti supaya bisa dilaporkan ke penegak hukum.
Adapun isi tulisan status lengkapnya, berikut kami lampirkan di bawah ini.
Skandal Proyek Cuci Tangan 42 Milyar
Hari ini kami mengunjungi 4 SMA diseputaran Banda Aceh. Tujuan kami untuk melihat langsung kualitas pekerjaan tempat cuci tangan yang dianggarkan untuk 400 lebih SMA/SMK se-Aceh. Kegiatan dengan total anggaran hampir 42 Milyar tersebut dilaksanakan dengan skema Penunjukan Langsung (PL). Program yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Aceh ini lahir setelah disusupkan dalam kegiatan Refocussing APBA 2020.
Dari 4 sekolah yang kami kunjungi hanya 1 sekolah yang kualitas pekerjaannya relatif sempurna. Sementara 3 sekolah lainnya cendurung bermasalah. Di sekolah pertama yang kami kunjungi kondisi pekerjaannya sangat hancur. Dari 11 buah wastafel tidak ada satupun pipa pembuangnya. Sebagian wastafel sama sekali belum tersambung dengan pipa sumber air dari water tank.
Ada yang sudah tersambung namun kondisinya bocor. Dua wastafel malah menggunakan sumber air PDAM, bukan dari sumur bor yang menjadi bagian dari paket pekerjaan. Bahkan ada pipa stainless di wastafel yang sudah copot. Pipanya juga tidak ditanam, dibairkan tergeletak diatas permukaan tanah. Walaupun berselemak masalah, namun pekerjaan tersebut sudah di PHO. Kepala Sekolahnya mengaku sudah juga menandatangani Berita Acara Serah Terima (BAST).
Di sekolah yang lain kondisi jetpump-nya malah tidak berfungsi sama sekali alias mati. Pipa-pipanya juga belum seluruhnya tersambung ke sumber air dari water tank. Kerennya Kepala Sekolah disini menolak menandatangani BAST sebelum seluruh fasilitas dalam paket pekerjaan tempat cuci tangan tersebut berfungsi 100 %. Padahal hari ini sudah tanggal 22 Desember, namun pekerjaan belum selesai seluruhnya.
Sementara itu di sekolah satunya lagi pipa disisi wastafel dibiarkan dalam kondisi bocor begitu saja. Kejanggalan lain adalah pengakuan dari penjaga sekolah bahwa sumur bor disalah satu sekolah merupakan sumur bor dangkal seukuran 1 batang setengah pipa. Sementara disekolah berbeda berdasarkan pengakuan Kepala Sekolah merupakan sumur bor dalam.
Begitulah temuan kami terkait kualitas pekerjaan tempat cuci tangan di beberapa sekolah. Fakta ini memperkuat dugaan publik jika proyek kejar tayang tersebut hanyalah modus mengeruk keuntungan dalam bencana Covid-19 oleh segelintir oknum. Jika di Banda Aceh saja kualitasnya dibawah standar, bagaimana dengan sekolah-sekolah yang berada dipelosok.
Maka saya mengajak rakan meutuah yang berdomisili disekitar SMA dan SMK diseluruh Aceh untuk meninjau atau melihat langsung kondisi proyek cuci tangan tersebut. Kalau menemukan kejanggalan, mohon rakan metuah dapat mendokumentasikannya dalam bentuk foto dan video, kemudian kirim pada kami agar bisa kita kumpulkan sebagai bukti untuk kita laporkan kepada penegak hukum. Sehingga jika pihak Dinas Pendidikan Aceh berani membayar paket pekerjaan yang tidak selesai/bermasalah kita seret mereka kedalam penjara.
Ketika fungsi pengawasan wakil rakyat sudah mati suri, maka kita rakyatlah yang harus mengawasinya sendiri.
POLDA Mana POLDA?