Wacana Penundaan Pemilu, JaDI Aceh Tetap Tunduk Pada Amanah Konstitusi Negara
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Ketua Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Aceh, Ridwan Hadi. [Foto: Serambinews]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wacana penundaan Pemilu kembali mencuat ke publik dan menjadi sebuah perbincangan hangat di masyarakat.
Ketua Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Aceh, Ridwan Hadi mengatakan, bahwa Pemilu nasional itu merupakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan memilih kepala daerah wakil kepala daerah.tentunya dalam penyelenggaraan pemilu tersebut Aceh menjadi bagian daerah pemilihan.
“Sebenarnya jadwal pemilihan umum inikan sudah mendapatkan keputusan dari DPR, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) sebagai organ yg mengurus pemilu terkait jadwal pemungutan suara pelaksanaan Pemilu itu yaitu pada 14 Februari 2024, sementara Pilkada Serentaknya 27 November 2024,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Rabu (9/3/2022).
Kemudian, Dirinya mengatakan, hal itu merupakan keputusan politik dan itu sudah sesuai dengan Konstitusi Negara Republik Indonesia.
“Bahwa konstitusi kita secara tegas mengatakan pada pasal 22 (e) itu menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, dan ini juga ditegaskan kembali oleh UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu ,” sebutnya.
Sementara itu, terkait penundaan pemilu, kata Ridwan, pemilu hanya dapat ditunda karena beberapa hal darurat.
“Misalkan terjadi sebuah kerusuhan, bencana alam, atau situasi negara tidak aman,” sebutnya..seperti Negara dalam keadaan perang.
“Demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan pemerintah dalam Negara Kesatuan RI mewajibkan pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan tertinggi Negara yg berada ditangan Rakyat melalui pelaksanaan pemilu setiap 5 tahun sekali secara langsung umum bebas dan rahasia untuk keberlangsungan Negara dalam sistem demokrasi terhadap pergantian kepemimpinan di setiap level.
Pemilu bisa ditunda jika ada keadaan yang luar biasa yang menyebabkan tahapan pemilu tdk dapat dilaksanakan di sebahagian wilayah atau seluruh wilayah dan sebagian tahapan atau seluruh tahapan, jika terjadi hal demikian maka pemilu dapat ditunda dan segera dilakukan pemilu susulan atau lanjutan setelah keadaan luar biasa tersebut dapat diselesaikan. Itu mekanisme yg diatur dalam UU no.7/2017 tentang pemilu.
Keadaan luar biasa yg dimaksud adalah semisal negara dalam keadaan perang atau bencana alam yang menimpa sebahagian atau seluruh bagian dari negara, diluar itu tidak boleh, dan penundaan pemilu dengan alasan hukum sebagaimana disebutkan tadi harus melalui sebuah keputusan Hukum sebagaimana yg telah diatur dalam ketentuan perundang2an.
Jikapun penundaan pemilu ingin dilakukan karena sebuah pertimbangan tertentu dan khusus maka seyogyanya boleh dilakukan dengan cara:
1. Melakukan Amandemen UUD 1945.
2. Dekrit Presiden.
Namun sebaiknya kita Taat pada konstitusi saja. Lebih lanjut, Ridwan menegaskan, bahwa pelaksanaan Pemilu 5 tahun sekali merupakan perintah daripada konstitusi negara didalam pasal UUD 1945 Pasal 22 (e).
“Penundaan Pemilu bisa terjadi karena 2 hal, pertama karena Amandemen atau Presiden mengeluarkan Dekritnya, dan itu seperti yang saya katakan negara dalam situasi yang tidak aman sama sekali, dan itu harus melalui mekanisme konstitusi negara, yaitu Amandemen ataupun Dekrit Presiden,” tegasnya.
Menurutnya, saat ini kondisi negara dalam keadaan stabil, jadi tidak ada alasan dilakukan penundaan pemilu.
“Untuk saat ini, kita tetap harus taat pada amanah konstitusi negara,” pungkasnya. [ftr]