Wakil Ketua Ekonomi NasDem Aceh: Kenaikan Harga Sawit Patut Kita Syukuri
Font: Ukuran: - +
Reporter : akhyar
Wakil Ketua Bidang Ekonomi Partai NasDem Aceh, Nurchalis. [Foto: Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Harga Jual Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Aceh secara berangsur-angsur mulai mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya permintaan Crude Palm Oil (CPO) dari pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Wakil Ketua Bidang Ekonomi Partai NasDem Aceh, Nurchalis mengatakan, rakyat Aceh perlu bersyukur dengan pertambahan nilai jual TBS sawit. Karena ini merupakan hasil perjuangan dimana harapan dan masa depan petani sawit mulai tampak cerah dan berseri.
“Dibandingkan tahun lalu, hasil sawit jangankan untuk mendapat pendapatan, untuk merawat kebun saja sulit. Maka kenaikan harga TBS sawit sekarang ini patut kita syukuri bersama, khususnya oleh petani sawit itu sendiri,” ujar Nurchalis kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Senin (13/9/2021).
Secara objektif, lanjut Nurchalis, tak bisa dipungkiri bahwa peningkatan harga sawit selain karena permintaan CPO yang tinggi, tetapi harga sawit juga dipengaruhi oleh faktor produksi bahan olahan lain di luar negeri.
Ia mencontohkan semisal jika tingginya produksi bunga matahari di luar negeri, baik di Amerika maupun di Eropa, maka harga TBS sawit di Indonesia juga bisa anjlok.
Namun, kata Nurchalis, dengan melihat perkembangan trends untuk komoditi sawit yang terus meningkat, maka harga TBS sawit yang meroket ini harus mampu dipertahankan untuk jangka waktu panjang.
Secara perincian, harga TBS sawit saat ini di Provinsi Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, berada di angka Rp2400-2600 per kilogram. Sedangkan untuk Aceh sendiri, diketahui harga sawit berada di kisaran Rp1900-2000 per kilogram.
Sampai Kapan Bisa Bertahan
Nurchalis mengatakan, selama ini harga jual sawit di Aceh dipandang dari ketetapan peraturan yang dijabarkan oleh Pemerintah Aceh melalui pihak tim penetapan harga TBS. Dimana penetapan harga TBS ditetapkan dengan ukuran berapa umur sawit, kesesuaian wilayah, hingga faktor-faktor lainnya.
Tapi, kata Nurchalis, untuk ke depan penetapan harga TBS di Aceh akan didasari pada Peraturan Gubernur (Pergub) dengan tetap melihat harga CPO dunia. Karena harga CPO global sangat mempengaruhi harga TBS sawit di Indonesia.
Upaya untuk menstabilkan harga sawit di Aceh ini, jelas Nurchalis, sudah digagasi dan diprakarsai oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Perjuangan, para pakar dan tenaga ahli perkebunan di Aceh.
“Upaya penstabilan harga sawit ini juga sudah diprakarsai oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh yang sudah menyusun Pergub,” ungkap Nurchalis yang juga Ketua Ikatan Saudagar Muslim Indonesia (ISMI) Aceh.
Walaupun akan hadir Pergub, lanjut dia, regulasi untuk penetapan harga TBS juga akan diupayakan ke pembuatan Qanun Aceh. Dalam hal ini, spiritnya ialah karena di Aceh hampir rata-rata wilayah memiliki kebun sawit, baik yang dikuasai oleh masyarakat Aceh (sawit rakyat) maupun oleh Hak Guna Usaha (HGU) sebagai penopang dari pabrik BMKS di Aceh.
Artinya, jelas Nurchalis, dengan penentuan harga sawit ke depan tidak akan lagi dibeli secara semena-mena. Karena, ironi yang dialami para petani sawit Aceh sebelum ini ialah ketetapan harga asli TBS tidak bisa terbaca, sehingga TBS petani dibeli secara semena-mena oleh mereka-mereka yang memilik pabrik.
“Sekarang, Alhamdulillah transparansi harga sawit akan mulai terwujud. Intinya, yang kita inginkan adalah Industri ini bisa berjalan seperti harapan mereka (petani sawit) bisa mendapatkan keuntungan, bisa membiayai operasional, pabriknya juga bisa meningkat, dan kita juga bisa punya target-target core bisnis dalam membangun investasi sendiri,” terang Nurchalis.
Adapun mengenai rancangan qanun untuk perlindungan perdagangan komoditas serta untuk stabilitas harga TBS, kata Nurchalis, rancangan qanun ini ialah Qanun Tata Niaga Komoditas Aceh. Dimana qanun ini disusun untuk menguatkan peran pemerintah untuk melindungi aktivitas perdagangan komoditas Aceh dari produsen hingga ke konsumen.
Secara fenomena, lanjutnya, pengawalan harga TBS di kabupaten/kota terkadang abai diawasi oleh pemerintah kabupaten/kota. Sehingga, keputusan penetapan harga TBS oleh pemerintah provinsi kadang tidak dijalankan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Semisal, ia mencontohkan, penetapan harga TBS di provinsi harus dibeli dengan harga Rp2300 per kilogram. Tetapi di lapangan masih ada saja yang dibeli Rp1900 per kilogram.
“Nah, pengawasan harga yang seperti inilah yang harus kita awasi secara ketat. Karena dasar perhitungan penetapan harga melingkupi aspek-aspek lain yang diperhitungkan oleh tim penentuan harga di Aceh. Apalagi waktu penetapannya, wajib hadir pihak pengusaha yang bergerak di bidang sawit itu juga,” kata Nurchalis.
Sebagai Wakil Ketua Bidang Ekonomi Partai NasDem Aceh, Nurchalis sangat berharap agar dengan hadirnya regulasi baru itu ke depan bisa menetapkan hasil produksi yang berdaulat bagi petani Aceh.
“Menurut kami, ini harus diramu. Kalau ini menjadi ketentuan dan kebijakan, tinggal nanti pengambil kebijakan, asosiasi, dan pengusaha meneruskan informasi ini ke petani sawit di Aceh. Sehingga mereka tidak akan lagi menimbulkan kecurigaan-kecurigaan terhadap harga beli kelapa sawit,” pungkasnya. [akh]