DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Praktik pungutan tarif parkir yang melebihi ketentuan resmi di sejumlah titik di Banda Aceh memicu keluhan warga.
Mereka menilai tarif yang diminta oleh petugas parkir tidak sesuai dengan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun 2021 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Tempat Khusus Parkir, yang seharusnya menjadi dasar hukum resmi penarikan retribusi parkir di ibu kota Provinsi Aceh tersebut.
Maya (26), warga Lamdingin, mengaku heran dan kesal karena tarif parkir di minimarket kini kerap ditarik sebesar Rp2.000 untuk motor, tanpa karcis dan tanpa papan informasi tarif.
“Padahal saya cuma beli roti dan air, parkir sebentar. Tapi tetap ditagih dua ribu. Saya sempat tanya, kok mahal, padahal qanun bilang seribu. Jawabannya cuma, ‘memang begitu sekarang, dek’,” ujar Maya kepada Dialeksis.com, Jumat (25/7/2025).
Pernah suatu kali, Maya mencoba membayar sesuai aturan -- Rp1.000 untuk motor saat menikmati suasana dan makan ramen di Atariki Peunayong. Namun, uangnya ditolak oleh petugas parkir.
“Saya kasih seribu, karena sesuai Qanun. Tapi petugasnya langsung bilang, ‘Nggak bisa dek, harus dua ribu.’ Saya bilang ini aturan resmi, dia tetap kekeh minta dua ribu. Mau marah juga bingung, karena dia tetap ngotot,” cerita Maya.
Pengalaman Maya bukan satu-satunya. Banyak warga Banda Aceh juga merasakan hal serupa. Zahran, mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh, kerap mengalami hal ini saat duduk di warung kopi di kawasan Simpang Punge.
“Untuk motor, saya ditagih Rp2.000. Untuk mobil teman saya, malah Rp3.000,” keluh Zahran.
Menurutnya, praktik ini sangat tidak mencerminkan tata kelola retribusi yang baik. “Ini sudah bukan sekadar soal tarif, tapi menyangkut transparansi, akuntabilitas, dan potensi kebocoran PAD,” ujarnya.
Jika mengacu pada Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun 2021, berikut tarif resmi retribusi parkir untuk sekali parkir:
Di tepi jalan umum biasa: Motor: Rp1.000 dan Mobil: Rp2.000.
Di lokasi tertentu yang ditetapkan pemerintah: Motor: Rp2.000 dan Mobil: Rp4.000. Di tempat insidentil atau temporer: Motor: Rp2.000 dan Mobil: Rp5.000
Namun dalam praktiknya, banyak petugas parkir mematok tarif lebih tinggi tanpa memperlihatkan dasar hukum, identitas resmi, maupun karcis.
Masalah lain yang disoroti warga adalah petugas parkir tidak memakai rompi parkir dan ketiadaan karcis resmi yang diberikan oleh petugas parkir. Hal ini membuat masyarakat khawatir apakah tarif yang dibayar benar-benar masuk ke kas daerah atau justru menjadi pungutan liar.
“Kalau uang parkir itu resmi, harusnya ada karcis dong. Tapi ini tidak. Bahkan petugasnya pun tidak bisa menunjukkan SK atau pengenal dari Dishub. Jadi kami curiga,” ujar Zahran.
Menurutnya, tanpa sistem pengawasan dan transparansi, penarikan tarif parkir ini bisa menjadi sumber kebocoran PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun kota.
Ia berharap agar Dishub Kota Banda Aceh memetakan kembali lokasi-lokasi parkir, menetapkan titik resmi yang termasuk lokasi tertentu sebagaimana dimaksud dalam qanun, dan memberlakukan sistem karcis digital atau cetak untuk mencegah manipulasi.
“Bayar sih enggak masalah, tapi jangan sampai yang resmi bilang Rp1.000, yang narik Rp2.000. Lalu karcis enggak ada, petugas enggak jelas. Ini yang bikin kita jengkel,” pungkasnya. [nh]