Senin, 13 Oktober 2025
Beranda / Berita / Aceh / YAKOPI Kembangkan Silvofishery di Aceh, Gabungkan Tambak dan Hutan Mangrove

YAKOPI Kembangkan Silvofishery di Aceh, Gabungkan Tambak dan Hutan Mangrove

Senin, 13 Oktober 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Yayasan Konservasi Pesisir Indonesia (YAKOPI) Provinsi Aceh menginisiasi penerapan sistem silvofishery atau wanamina di tambak milik masyarakat binaannya di Desa Cinta Raja, Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Upaya menjaga keberlanjutan ekosistem pesisir kembali digiatkan di Aceh. Yayasan Konservasi Pesisir Indonesia (YAKOPI) Provinsi Aceh menginisiasi penerapan sistem silvofishery atau wanamina di tambak milik masyarakat binaannya di Desa Cinta Raja, Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa.

Program ini dilakukan di lahan seluas dua hektare milik Sudirman, warga setempat yang menjadi salah satu pelopor penerapan tambak ramah lingkungan di wilayah pesisir timur Aceh.

Silvofishery merupakan metode integrasi antara budidaya perikanan (tambak) dan penanaman mangrove secara berkelanjutan. Sistem ini tidak hanya berorientasi pada hasil produksi ikan dan udang, tetapi juga pada pemulihan fungsi ekologis hutan mangrove yang semakin terancam akibat alih fungsi lahan tambak konvensional.

Menurut Taufik Hidayat, Koordinator Wilayah Aceh Yayasan Konservasi Pesisir Indonesia (YAKOPI), penerapan sistem ini adalah langkah nyata untuk menyeimbangkan kebutuhan ekonomi masyarakat dengan pelestarian lingkungan.

“Melalui silvofishery, kita ingin menunjukkan bahwa tambak dan hutan mangrove bisa hidup berdampingan. Petambak tetap bisa berproduksi, sementara mangrove tumbuh menjaga kualitas lingkungan dan mencegah abrasi,” ujar Taufik saat ditemui media dialeksis.com, Senin (13/10/2025).

Mangrove memiliki peran penting dalam sistem silvofishery. Akar-akar mangrove berfungsi menahan tanah agar tidak tergerus air laut, sekaligus menjadi filter alami yang mampu menyaring limbah dan meningkatkan kualitas air di area tambak.

Selain itu, ekosistem mangrove juga menjadi habitat alami bagi berbagai biota seperti kepiting, udang, ikan kecil, dan burung air yang semuanya mendukung produktivitas tambak.

“Dengan mangrove, tambak tidak hanya lebih sehat, tapi juga lebih produktif. Mangrove membantu menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan menurunkan risiko gagal panen akibat air yang tercemar atau erosi,” jelas Taufik.

YAKOPI Aceh menerapkan beberapa pola silvofishery di lapangan, menyesuaikan kondisi geografis dan kebutuhan masyarakat setempat.

Pola yang digunakan antara lain pola tanggul, pola parit, pola komplangan, dan pola strip, di mana masing-masing memiliki keunggulan dalam pengelolaan air, pertumbuhan mangrove, serta efisiensi ruang tambak.

Misalnya, dalam pola parit, mangrove ditanam di tepi saluran air yang mengelilingi tambak, sementara area tengah digunakan untuk budidaya ikan atau udang. Pola ini memudahkan sirkulasi air dan menjaga kandungan oksigen tetap stabil di kolam budidaya.

“Kita tidak memaksakan satu pola untuk semua. Prinsipnya adalah adaptif terhadap kondisi lokal dan berbasis pada kearifan masyarakat pesisir,” tambah Taufik.

Program silvofishery yang dikembangkan YAKOPI Aceh juga memiliki tujuan sosial yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir tanpa merusak lingkungan.

Dengan penerapan sistem tambak yang ramah lingkungan ini, petambak dapat memperoleh hasil panen yang stabil dalam jangka panjang, sekaligus berkontribusi pada konservasi alam.

Inisiatif silvofishery di Langsa Timur ini menjadi salah satu contoh nyata kolaborasi antara masyarakat dan lembaga konservasi dalam mengelola sumber daya pesisir secara berkelanjutan.

Dengan dukungan teknologi, pelatihan, dan pendampingan berkelanjutan, YAKOPI Aceh berharap model tambak-mangrove ini dapat direplikasi di daerah pesisir lainnya di Aceh.

“Kita tidak hanya menanam mangrove, tapi menanam masa depan pesisir Aceh yang lebih tangguh,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
bank aceh