Blunder Moderasi Kerukunan Umat oleh TNI
Font: Ukuran: - +
Teuku Kemal Fasya Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh
Wacana TNI memoderasi umat beragama yang kini menyebar seperti kehilangan kompas. Pertama, publik banyak tak tahu siapa yang memunculkan wacana ini. Tiba-tiba ia lepas dari tangkap dan meriuhkan ruang pemikiran publik. Kedua, wacana ini seperti amnesia sejarah, muncul lagi oleh piloks-piloks politik kekinian yang tak otentik, sehingga tak menyadari bahwa praktiknya bisa berbahaya bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Wacana rapuh
Hal pertama yang perlu dijelaskan bahwa wacana ini dimunculkan pertama sekali oleh Prof. Oman Fathurahman, pakar filsafat Islam asal UIN Syarif Hidayatullah, juru bicara Menteri Agama 2019-2024, pada 1 Juli 2020. Sontak pandangannya dianggap wacana resmi dari Kementerian Agama, sehingga melahirkan antipati dan sinisme di kalangan publik, terutama aktivis HAM, Islam, dan demokrasi.
Problemnya, sang Menteri Agama, Fachrul Razi sempat mengafirmasi kembali wacana ini dalam rapat DPR RI Komisi VIII bersama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), 7 Juli 2020.
Memang sang menteri pun terpaksa mengoreksi pandangan tersebut, meskipun dengan pernyataan yang tidak tegas. Hal kedua yang perlu dilihat ialah upaya TNI untuk masuk dalam “peran mulia” untuk memoderasi kerukunan umat beragama di Indonesia akan bermasalah dalam praktik diskursifnya. Publik, terutama yang non-milenial, akan kembali mengingat bagaimana peran TNI dalam upaya memoderasi gerakan-gerakan yang dianggap sebagai “ekstrem kanan” telah melahirkan prahara sosial-politik dan pelanggaran HAM.
Ini seperti membiarkan budaya otoriterisme pada akhir 80-an hingga awal 90-an muncul kembali, ketika TNI “ikut campur” pada kehidupan di dunia pesantren/dayah. Jika wacana ini dipraktikkan, akan terasa seperti déjà vu: sensasi kuat mengulang masa lalu di masa sekarang. Bahkan, tindakan TNI dengan logika “Dwi-Fungsi” yaitu melakukan moderasi kelompok keagamaan menjadi ekstremisme, karena terbukanya ruang represif dan non-dialog.
Maka ketika anggota DPR RI asal PKB, Maman Imanulhaq, melakukan protes keras terkait wacana ini, itu tak lain ekpresi dari representasi kultural keluarga Nahdliyin yang kembali “hanyut” oleh perasaan trauma ketika tentara bisa menyerbu pesantren karena dianggap sebagai pusat “ekstrem kanan” yang mengancam stabilitas negara.
Di sisi lain, peran TNI memoderasi agama bisa mencaplok wilayah dakwah dan syiar agama yang biasa dilakukan kaum Nahdliyin melalui konsep utamanya at-Tawazun (harmoni), at-Tawassuth (moderat), at-Tasammuh (toleran), dan al-I’tidal (proporsional dan bijaksana) secara empiris dan digital terhadap jemaah Nusantara dan dunia. Ceramah dan pengajian yang dilakukan ulama muda NU seperti Gus Muwaffiq, Gus Ulil Abshar Abdala, KH Abdul Moqsith Ghazali, Gus Baha-uddin, dll memang mengajarkan moderasi dan toleransi dalam Islam, termasuk pro-pluralisme, meskipun kajian yang disajikan tetap dengan kitab-kitab salafy. Sejarah NU dalam pengembangan keagamaan sejak sebelum kemerdekaan memang menggaungkan toleransi dan penganjur moderasi.
Meskipun tak semassif di kalangan NU, kalangan Muhammadiyah juga ikut mempraktikan Islam yang ramah. Tokoh-tokoh muda mereka seperti Zuly Qodir, Fajar Zia Ul Haq, Najib Burhani, Hilman Latif dll termasuk ikut meramaikan gagasan Islam berkemajuan, yang dalam secara umum berkanal pada nilai-nilai demokrasi dan nasionalisme. Pandangan bahwa negara ini bisa terjaga kohesivitasnya dengan penganjuran nilai-nilai Islam yang toleran dan pro-NKRI, juga dilakukan. Ada tanggung-jawab bersama antara NU dan Muhammadiyah untuk menjaga keutuhan Indonesia.
Jangan lebay
Memang, jika dilihat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), 2020-2024, ide tentang moderasi agama menjadi bagian yang diprioritaskan. Hal ini tergambar dari refleksi menguatnya gejala ekstremisme global di dalam masyarakat yang bisa mengarah kepada disintegrasi bangsa. Ditakutkan, jika tanpa moderasi agama, wacana politik identitas baik yang berbasis agama, etnis, dan golongan akan semakin memuncak dan masak dalam “kawah permusuhan bangsa” yang berujung kekacauan dan kekerasan massif.
Namun dalam dokumen RPJMN itu disebutkan bahwa sasaran moderasi agama itu diarahkan kepada aparat sipil negara (ASN), termasuk TNI dan Polri. Ini berarti, dalam analisis yang telah dibuat, para administrateur dan praetorian negara ini sendiri diindikasikan mulai terinfeksi gagasan anti-NKRI dan Pancasila. Hasil RPJMN yang berangkat dari ekstraksi penelitian dan pertimbangan tokoh nasional menunjukkan tubuh ASN dan TNI-Polri yang seharusnya setia pada negara dan bangsa, mulai terjangkit sakit disintegrasi dan sektarianisme. Berangkat dari kondisi itu, seharusnya mereka lah yang menjadi objek moderasi, bukan sebagai subjek.
Makanya gagasan untuk menjadikan TNI sebagai tulang-punggung bangsa untuk memoderasi kerukunan umat beragama (termasuk intern-agama) menjadi tidak tepat, tidak efektif, dan tidak strategis. Belum lagi bahwa konstruksi tentang ketahanan nasional (national resilience) yang dihubungan dengan pembangunan nasional (national development) “ di era modern “ tidak lagi menempatkan militer dalam peran optimum-aktif di depan, tapi di belakang yaitu dengan mendorong pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya secara lebih tersentral.
Gagasan militerisasi ruang sosial seperti yang sedang digaungkan oleh Menteri Agama yang kebetulan berlatar-belakang mantan jenderal hanya mengaktifkan apa yang dikatakan Jenderal Andr? Beaufre, sebagai the art of dialectics of will that use force to resolve their conflict. Itu hanya cocok dalam situasi perang, bukan pada situasi damai, apalagi dalam kondisi pembangunan nasional (Daoed Joesoef, Studi Strategi : Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, 2014).
Jika kita kembali membuka konsep “konstitusional” TNI dalam UU No. 34 tahun 2004, dijelaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 945 dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sikap itu adalah sebagai “penjaga di barak” atau bersifat pasif. Ketika dihadapkan pada dinamika nasional di era demokrasi, militer bukan lagi fasilitator. Dengan demikian, tugas mereka pun tidak boleh keluar dari semangat menjaga bangsa secara adil, dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi, HAM, keadaban sipil, dan kecerdasan publik. UU No. 34 tahun 2004 sesungguhnya buah reformasi yang membatasi agar TNI tidak kembali tergelincir pada “Dwi-Fungsi” yang kebablasan seperti pada masa Soeharto.
Daripada menjatuhkan diri pada sikap tidak profesional militer terkait urusan mengelola moderasi umat beragama, lebih baik TNI kembali menatap peran profesionalnya: menjaga kedaulatan negara dari ancaman yang semakin omnipresent: dari gangguan global, baik militeristik, kejahatan siber-digital, narkoba, perdagangan hasil laut ilegal, dan human traficking. Termasuk mengamankan negara dari penghancuran sumber daya darat dan laut dari kolonialisasi asing, ilegal atau resmi. Tentu dalam komando sipil yang terencana.
Penulis
Teuku Kemal Fasya Kepala UPT Kehumasan dan Hubungan Eksternal Universitas Malikussaleh