Dana Desa untuk Penanganan Covid-19
Font: Ukuran: - +
Reporter : Dr. Syukriy Abdullah
Dr. Syukriy Abdullah
DIALEKSIS.COM | Dana milik Pemerintah Desa kembali menjadi bahan diskusi hangat. Hal ini terkait dengan perintah pemerintah pusat untuk menggunakan dana yang ada di desa dalam penanganan Covid-19. Ada yang pro dan ada yang kontra. Masing-masing memiliki argumen, tentunya dengan sudut pandang masing-masing.
Efek Covid-19 yang luar biasa terhadap kehidupan masyarakat bawah, terutama kehidupan ekonomi dan sosial, mengharuskan adanya kebijakan yang bersifat “luar biasa”. Kondisi darurat yang terjadi membuat Pemerintah menggali berbagai strategi untuk meringankan beban masyarakat, termasuk dengan memanfaatkan dana miliki desa, terutama yang bersumber dari APBN berupa dana desa.
Pandemi Covid-19 kemudian menggeser pemrioritasan dana desa untuk kegiatan yang lebih “terasa manfaatnya” kepada masyarakat desa. Untuk itu dibutuhkan kebijakan keuangan negara yang menyeluruh melalui penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Perppu 1/2020 ini memiliki implikasi pada kemungkinan terjadinya penurunan penerimaan desa yang bersumber dari dana desa (APBN) dan alokasi dana desa (APBD). Pada Pasal 2 Ayat (1) huruf i dinyatakan bahwa “Pemerintah berwenang… melakukan pemotongan/penundaan penyaluran anggaran transfer ke daerah dan dana desa dengan kriteria tertentu.” Kemudian pada Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) hurup b disebutkan bahwa “besaran belanja wajib (mandatory) dapat disesuaikan oleh pemerintah, antara lain: anggaran untuk desa dari APBN sebesar 10% dan di luar transfer daerah.”
Yang menjadi pertanyaan adalah: siapa yang mengarahkan dan mengawasi pemerintah desa untuk melakukan perubahan anggaran untuk penggunaan dana desa ini? Apakah gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat atau bupati/walikota yang selama ini menjadi Pembina pemerintah desa?.
Selama ini, bupati/walikota adalah Pembina bagi pemerintah desa, termasuk dalam hal pengelolaan keuangan desa. Bupati/walikota menetapkan peraturan bupati/walikota sebagai pedoman bagi pemerintah desa dalam mengelola keuangannya, mulai dari perencanaan anggaran sampai ke pertanggungjawaban dan pengawasannya. Oleh karea itu, kebijakan pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat terkait dengan penggunaan sumberdaya desa harus melalui koordinasi dengan pemerintah kabupaten dan kota (PP Nomor 19 Tahun 2010).
Pada tanggal 24 Maret 2020, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menandatangani Surat Edaran (SE) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Desa Tanggap Covid-19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa (SE Mendes No.8/2020). Ada empat hal pokok yang menjadi substansi SE ini, yang harus mendapat perhatian.
Pertama, SE ini menjadi acuan dalam pelaksanaan penanggulangan Wabah Covid-19 melalui pelibatan Desa dan semua sumberdaya yang dimilikinya yang dapat digunakan untuk pelaksanaan kegiatan Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dalam rangka meminimalisir dampak Covid-19 terhadap ekonomi masyarakat. Kegiatan dengan PKTD dilaksanakan secara swakelola, menggunakan sumber daya manusia dan sumberdaya alam yang ada di desa, teknologi tepat guna, dan inovasi desa. Hal ini bermakna bahwa pekerja yang digunakan diprioritaskan dari anggota keluarga miskin, pengangguran atau setengah penganggur, serta anggota masyarakat marjinal lainnya, dengan pembayaran upah dilakukan secara harian. Secara teknis, protokol Covid-19 harus tetap diikuti, yakni: jaga jarak aman di antara pekerja minimal dua meter dan bagi pekerja yang sedang batuk atau pilek wajib mengenakan masker.
Kedua, perubahan APBDes. Oleh karena sebagian besar kegiatan PKTD belum dianggarkan dalam APBDes, yang disusun di akhir tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19 merebak, maka mau tidak mau harus dilakukan perubahan atau revisi APBDes. SE tersebut menyatakan bahwa “Surat Edaran ini menjadi dasar bagi perubahan APBDes untuk menggeser pembelanjaan bidang dan sub bidang lain menjadi bidang penanggulangan bencana, keadaan darurat dan mendesak desa, dan bidang pelaksanaan pembangunan desa untuk kegiatan Padat Karya Tunai Desa (PKTD). Pada desa-desa yang masuk dalam wilayah Keadaan Luar Biasa (KLB) Covid-19, maka APBDes dapat langsung diubah untuk memenuhi kebutuhan tanggap COVID-19 di Desa. Kriteria KLB ini diatur dalam Peraturan Bupati atau Walikota mengenai pengelolaan keuangan desa.
Ketiga, pembentukan Desa Tanggap Covid-19. Berdasarkan SE tersebut dibangun Protokol Desa Tanggap Covid-19 dengan membentuk Relawan Desa Lawan Covid-19 yang dipimpin langsung oleh Kepala Desa beserta perangkat desa lainnya. Relawan Desa Lawan Covid-19 memiliki tugas untuk lakukan pencegahan dengan cara edukasi melalui sosialisasi kepada seluruh warga masyarakat agar ada kesamaan pemahaman di desa terkait soal Covid-19 dan bagaimana cara pencegahannya. Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa pasien yang meninggal akibat terinfeksi Covid-19 dan sudah diproses di Rumah Sakit Rujukan dengan standar WHO aman untuk dimakamkan dimana saja.
Keempat, meskipun tidak dijelaskan, kegiatan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) untuk tujuan jaring pengaman sosial (social safety net) tidak dapat dihilangkan begitu saja. Penjelasan Pasal 1 ayat (2) hurup i Perppu 1/2020 menyatakan bahwa “pengutamaan penggunaan dana desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemi Covid-19.” Namun, pemberian BLT ini dapat menimbulkan perilaku malas atau membuat masyarakat miskin menjadi “pengemis”. PKTD menjadi solusi dengan memiasakan masyarakat miskin untuk tetap bekerja dan diberi imbalan secara harian untuk memenuhi kebutuhannya.
Dengan melihat susbtansi SE ini, maka posisi pemerintah daerah provinsi tidak tampak jelas, padahal di pemerintahan provinsi ada dinas tersendiri yang memiliki tugas dan fungsi terkait dengan pemberdayaan dan pembinaan masyarakat dan desa. Pasal 3 Ayat (1) huruf b PP 19/2010 menyatakan bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan meliputi koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan. Selanjutnya, pada Pasal 4 dinyatakan bahwa Gubernur memiliki wewenang “meminta kepada bupati/walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan instansi vertikal untuk permasalahan penting dan/atau memerlukan penyelesaian cepat.”
Dari beberapa regulasi yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah, pendanaan untuk penanganan Covid-19 diserahkan kepada masing-masing pelaksana. Artinya, kegiatan yang dilaksanakan oleh desa akan didanai oleh anggaran desa sendiri. Begitu juga dengan kegiatan penanganan Covid-19 di kabupaten/kota dan provinsi, masing-masing dibiayai dengan anggaran belanja masing-masing daerah.
Jika mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19, maka semua pihak wajib melakukan upaya penanggulangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, semua level pemerintahan harus melaksanakan kegiatan yang relevan dengan penanganan Covid-19 sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Pada akhirnya, pengelolaan keuangan desa harus lah diawasi pelaksanaannya dan diperiksa pertanggungjawabannya. Di luar kegiatan yang berkenaan dengan penanganan Covid-19, pemerintah desa tetap berpedoman pada Permendes-DTT Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020. Oleh karena itu, meskipun dalam kondisi kondisi darurat, sejak awal proses penggunaan uang negara harus diselenggarakan secara transparan dan akuntabel. Pemerintah kabupaten/kota, melalui organisasi perangkat daerah bernama Inspektorat Daerah harus ikut mengawasi pengelolaan dana desa ini.
Penulis
Dr. Syukriy Abdullah (Dosen FEB Unsyiah)